Saat sarapan di meja makan, aku hanya diam. Kesal dengan penolakan mbak Didi.
“Nanti mau pulang bareng?” Tanya mbak Didi.
“Gak,” jawabku singkat.
“Tumben,” balasnya heran.
“Gue full meeting sampai jam delapan malam,” jawabku berbohong.
“Gue juga kelar jam segitu,” sahut mbak Didi.
“Gue balik sendiri aja, naik taksi,” tolakku.
“Lo kenapa sih?”
“Gak apa.”
“Lo marah gara-gara gak gue pinjemin baju?” Tanya mbak Didi mulai curiga.
“Biasa aja,” sahutku pendek.
“Jawabnya pendek-pendek gitu.”
Mami dan papi yang juga sedang sarapan mulai memperhatikan.
“Arimbi, jangan begitu ke kakakmu. Hormat sedikit,” tegur mami.
“Siapa yang gak hormat, Mam?” Aku mulai merasa tidak nyaman.
“Di meja makan gak boleh bertengkar. Minta maaf ke kakakmu,” perintah mami.
“Aku gak merasa salah, jadi aku gak minta maaf,” jawabku ketus sambil berdiri.
“Arimbi Sekar Mintohardjo!” Bentak mami.
“Mami kenapa sih? Kok aku terus yang disalahin?” Aku merasa kesal.
“Jangan ketus sama kakakmu,” sahut mami menasihati.
“Aku pamit, Mam, Pap! Mau cari uang banyak buat beli baju baru!” Aku meraih tas dan langsung pergi tanpa peduli lagi.
Sayup-sayup aku mendengar mbak Didi berkata, “Udahlah, Mi, biarin aja. Emang keras kepala banget tuh anak.”
—-
Subtitle: Pertukaran Pesan
[08:11 WIB]
[Pesan diterima] Hans: Abis ribut lagi?