Bukan Lelaki Arimbi

Shinta Larasati Hardjono
Chapter #23

Plan B

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul satu ide di benakku. Sebuah ide yang kurasa bisa membantu menyelesaikan masalah ini.

“Mbak, gue rasa gue punya ide bagus buat masalah lo,” kataku pada Mbak Didi.

“Oh ya? Apaan tuh? Cepetan kasih tau,” tanyanya penasaran, sambil melirik ke arahku.

“Besok kita pergi lagi,” jawabku singkat.

“Pergi ke mana?” Mbak Didi semakin penasaran.

“Besok pagi-pagi kita pergi. Kalau ditanya mami sama papi, bilang aja kita ke mana gitu…” jawabku dengan sedikit misterius.

“Iya, tapi ke mana? Lo gak jawab-jawab nih, bikin gue sebel,” keluh Mbak Didi, mulai kesal karena aku terus menghindar.

“Kita ke… Puncak,” jawabku akhirnya.

“Hah? Ngapain ke Puncak? Mau liburan? Makan di Rindu Alam? Haha,” Mbak Didi tertawa sambil menjewer telingaku.

“Aduh! Sakit tau!” Sergahku kesal.

“Ya elah, serius lo ke Puncak? Gue lagi hamil, gak bisa jauh-jauh nyetir.”

“Kita ke rumah om Taufik. Kita cerita sama dia, minta advice,” kataku yakin.

“Lo gila, Rim. Masa cerita ke om Taufik?” Mbak Didi tampak ragu.

“Kenapa takut? Dia bisa bantu kita mastiin mami dan papi gak marah besar,” jawabku mencoba meyakinkan.

“Yakin lo ini ide bagus?”

“Mba, kalau lo sendiri yang ngaku, mami pasti ngamuk besar. Tapi kalau om Taufik yang bantu ngomong, pasti lebih tenang. Gue yakin dia bisa bantu.”

Mbak Didi terdiam, lalu perlahan tersenyum. “Lo kecil-kecil pinter juga,” katanya, akhirnya setuju. “Oke, besok kita ke om Taufik.”

Om Taufik adalah adik mami, sosok yang selalu didengarkan pendapatnya dalam keluarga. Kami, Mbak Didi, aku, dan Krisna, sangat dekat dengannya sejak kecil, karena ia pernah tinggal di rumah kami selama bertahun-tahun.

—-

Lihat selengkapnya