Esok harinya di kantor.
“Arimbi!”
Aku mendengar suara memanggilku saat berjalan keluar menuju tempat menunggu taksi di depan gedung kantor. Ketika menoleh ke belakang, aku melihat Hans.
“Hans? Ngapain sih dia di sini? Bikin ribet aja,” gumamku dalam hati, lalu mempercepat langkah menjauh darinya.
“Arimbi, tunggu!” Hans berlari menyusulku dan meraih tanganku.
“Apaan sih? Ngapain ke sini?” Tanyaku kesal, berusaha melepaskan tangannya.
“Aku mau bicara,” jawabnya tegas.
“Jangan cari gara-gara di sini. Ini kantor! Banyak yang kenal aku!” Bentakku.
“Aku mau bicara,” Hans mengulang lagi.
“Bicara apa? Gak ada lagi yang bisa dibicarakan,” balasku ketus.
“Ayok pulang bareng. Kita bicara di mobil. Setelah itu aku antar kamu pulang,” rayunya.
“Gak mau!” Aku tetap menolak.
“Please, Rimbi. Ayo…” Hans mulai memohon.
“Aku bilang gak ya gak! Sekali gak, tetap gak!” Aku tetap berkeras.
“Aku udah nungguin kamu dari jam lima di sini…” katanya merajuk.
“Ya salah sendiri nunggu dari jam lima. Aku kan pulangnya jam enam. Gak usah cari-cari pembenaran!” Sahutku semakin kesal.
Alih-alih luluh, aku malah semakin benci. Aku membalikkan badan, mencoba meninggalkannya lagi, tapi Hans kembali menarik lenganku, kali ini lebih kuat.
“Rimbi, please, kasih aku kesempatan bicara. Aku minta maaf atas kejadian waktu itu. Aku khilaf dan terlalu emosi. Maafkan aku,” katanya penuh penyesalan.
Mendengar kata maafnya, aku merasa kasihan. Apalagi, dua satpam gedung mulai melirik kami dengan tatapan penasaran.