Perjalanan kami menuju Puncak memakan waktu sekitar tiga jam. Cukup lama untuk jarak Jakarta-Puncak, namun mobil tidak bisa dipacu terlalu cepat mengingat kondisi Mbak Didi yang sedang mengandung.
Sekitar pukul sepuluh pagi, kami tiba di rumah Om Taufik. Kami disambut hangat oleh Om dan istrinya. Sudah satu tahun kami tidak bertemu, terutama karena Lebaran kemarin Om Taufik dan keluarganya merayakan di Makassar, kampung halaman istrinya.
Setelah makan siang bersama, kami duduk santai di ruang keluarga.
“Om, rumah Om enak banget. Ini rumah atau villa sih? Nyaman banget,” kata Mbak Didi, memulai percakapan.
Aku memilih diam, membiarkan Mbak Didi yang mengambil alih percakapan.
“Rumah kalian di Jakarta juga gak kalah enak, Didi, Rimbi. Besar, mewah, dan suasananya adem karena mami kalian rajin menanam tanaman di pekarangan,” balas Om Taufik sambil tersenyum.
Om Taufik kemudian berdiri, mengambil gelas kopi pahitnya dari meja makan, lalu kembali duduk.
“Jadi, apa yang membuat dua keponakan Om datang mendadak tanpa pemberitahuan? Ada yang bisa Om bantu?” Tanyanya, penuh perhatian.
Aku dan Mbak Didi saling berpandangan, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasan kami datang. Mbak Didi tampak diam sejenak, menatap lantai, lalu menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian.
“Kami sedang dalam masalah, Om,” ujar Mbak Didi pelan.
Aku segera menoleh ke arahnya, sedikit tidak setuju karena merasa dia membawa-bawa namaku dalam masalah ini. "Masalah lo, bukan masalah kita," gumamku dalam hati, kesal.
“Masalah apa, Didi? Ceritakan saja,” kata Om Taufik dengan tatapan penuh pengertian, seperti seorang ayah yang menenangkan anaknya.
Tatapan bijaksana Om Taufik tampaknya memberikan Mbak Didi keberanian untuk mengungkapkan segalanya.
“Aku hamil, Om,” jawab Mbak Didi, suaranya nyaris tak terdengar.
Om Taufik terdiam, tampak terkejut. Ia meminum kopinya, mungkin untuk meredakan keterkejutannya.