Kami tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Mami dan papi sedang pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Rasanya lega karena malam ini kami tidak harus menghadapi teguran mami karena pulang terlambat.
Aku tahu, jika mami ada di rumah, pasti dia akan mengorek-ngorek, bertanya curiga ke mana saja kami pergi selain Pasar Senen. Setidaknya, teror pertanyaan itu bisa kami hadapi besok pagi, setelah badan dan pikiran kami kembali segar.
Malam ini kami sangat letih. Besok, setelah beristirahat, lebih mudah merangkai alasan-alasan untuk menjawab kecurigaan mami.
Setelah mandi air panas, aku merebahkan tubuh di atas kasur. Badanku terasa seperti mau rontok.
Di bawah selimut yang hangat, pikiranku kembali memutar percakapan antara aku dan Mbak Didi saat perjalanan pulang tadi.
“Gimana, Mbak? Feel better gak habis ngobrol sama Om Taufik?” Tanyaku.
“Lumayan sih, tapi gue masih ada rasa takut,” jawab Mbak Didi jujur.
“Wajar banget. Biar gimana, Om Taufik gak bisa handle reaksi mami nanti. Dan kita tahu banget gimana karakternya.”
“Lo bener, Rim.”
“Aku juga sebenarnya khawatir, Mbak. Bukan mau nyalahin lo sebagai penyebab semua keruwetan ini, tapi ada satu hal yang aku mau minta ke lo, Mbak. Ini pertama kalinya gue minta sesuatu ke lo.”