Pukul setengah enam pagi, aku terbangun oleh suara ribut dari lantai bawah. Suara itu samar, namun cukup keras untuk mengganggu tidurku yang nyaman dan membangunkan aku dari mimpi indah tentang Yerry.
“Hanya mimpi ternyata,” gumamku kesal, meski rasanya tidak ingin meninggalkan kehangatan tempat tidur.
Namun, suara tangisan mami yang samar terdengar dari bawah menarik perhatianku. Penasaran, aku keluar dari tempat tidur dan berjalan ke arah tangga, berusaha mendengar lebih jelas.
Dari posisiku di atas tangga, aku bisa mendengar isak tangis mami dengan lebih jelas. Suara itu memenuhi rumah kami yang biasanya tenang di pagi hari. Seketika, pikiranku dipenuhi berbagai dugaan, “Apakah mami sudah tahu tentang kehamilan Mbak Didi?”
Pikiran itu langsung menghantuiku. Tapi rasanya tidak mungkin, karena Mbak Didi baru berencana mengaku besok atau lusa. Atau mungkin mami menangis karena kami pulang terlambat malam kemarin? Tapi itu juga rasanya kurang masuk akal.
Kemungkinan lainnya, mami bertengkar dengan papi lagi—hal yang sering terjadi di rumah kami. Hampir setiap hari, mami dan papi bisa bertengkar, bahkan masalah kecil bisa jadi besar. Namun, selama ini, meski sering ada ketegangan, mereka selalu menyelesaikan semuanya dengan baik pada akhirnya. Itu sudah jadi bagian dari dinamika rumah tangga kami yang lama-lama terasa normal, meskipun kadang melelahkan untuk disaksikan.
Aku kembali masuk ke kamar. Rasanya ingin sekali kembali merebahkan badan di tempat tidur. Tubuhku masih terasa lelah meski sudah tidur semalaman. Namun, hari ini aku harus ke kantor, tidak ada pilihan lain.
"Kalau tangisan mami karena ribut sama papi, mending gue tutup telinga aja. Buru-buru pergi kerja biar gak terlibat," gumamku dalam hati.
Aku mulai melipat selimut dan merapikan tempat tidur, lalu mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Pikiran tentang mami dan tangisannya terus menggangguku. Aku tahu sesuatu pasti sedang terjadi, tapi aku tidak tahu apa.
—-
Dalam waktu dua puluh menit, aku sudah siap. Ini adalah persiapan tercepatku—biasanya aku butuh satu jam untuk bersiap-siap, tapi kali ini semuanya selesai dalam waktu yang jauh lebih singkat. Setelah memastikan semuanya, aku mengambil tas, mengecek ponsel, lalu keluar kamar. Dengan pelan, aku menuruni tangga menuju ruang makan.
Dari ujung meja makan, aku melihat Mbak Didi berdiri di samping sofa. Wajahnya terlihat tegang, dan matanya sedikit bengkak. Aku menatapnya penuh tanya, ada sesuatu yang jelas-jelas berbeda pagi ini. Apa yang terjadi?
Hanya beberapa detik kemudian, aku melihat papi keluar dari kamar, berjalan dengan pelan menuju Mbak Didi. Wajahnya penuh kesedihan, dan yang lebih mengejutkan, papi menangis. Ini kali pertama aku melihat papi menangis begitu. Papi yang selama ini selalu tegar dan tenang, kini terlihat rapuh dan penuh kesedihan.
Aku memilih tetap berdiri dan memandang adegan di depanku tanpa bergerak.
“Anakku… Mengapa bisa terjadi, Nak?” Tanya papi, suaranya tersendat oleh isakan saat dia memeluk Mbak Didi erat-erat.
“Mengapa bisa terjadi?” Gumamku dalam hati, mencoba memahami situasi yang terjadi di hadapanku.