Malam itu di rumah om Taufik, setelah kami berpamitan, beliau duduk diam di sofa. Wajahnya serius, jelas terlihat ia sedang berpikir keras mencari solusi terbaik untuk Mbak Didi. Om Taufik bukan orang yang tidak mengenal karakter mami. Ia sangat memahami ketakutan Mbak Didi tentang bagaimana reaksi mami jika nanti mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Namun, keselamatan Mbak Didi adalah hal yang paling penting baginya.
Om Taufik tahu, meski mami tegas, beliau juga penuh kasih sayang. Ia sadar, Mbak Didi butuh dukungan dari keluarganya. Maka, tanpa banyak pilihan, Om Taufik memutuskan untuk segera memberitahu kakaknya tentang keadaan Mbak Didi.
Dalam hatinya, terlintas berbagai pikiran buruk yang mungkin terjadi. Banyak berita di televisi tentang perempuan yang mengalami kekerasan akibat hamil di luar nikah. “Bagaimana kalau Didi mengalami hal yang sama seperti di berita-berita itu?” Gumam Om Taufik. “Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Didi harus segera mendapat perlindungan,” putusnya.
—-
Panggilan Subuh
Keesokan harinya, tepat pukul lima subuh, Om Taufik menghubungi mami lewat telepon. Saat itu, mami dan papi baru saja selesai menjalankan sholat subuh. Mami mengangkat telepon dengan suara lembut, meskipun masih sedikit mengantuk.
“Halo, Assalamualaikum, Mbak,” sapaan Om Taufik terdengar.
“Halo, Fik, waalaikumsalam. Apa kabarnya?” Jawab mami dengan ramah.
“Baik, Mbak. Semua di sini juga sehat,” jawab Om Taufik.
“Ada apa nih, Fik? Tumben sekali kamu menelepon subuh-subuh begini. Semoga semuanya baik-baik saja?”
“Iya, Mbak. Sebenarnya saya ingin menyampaikan sesuatu yang penting tentang Didi,” suara Om Taufik terdengar lebih serius.
“Didi? Ada apa dengan Didi, Fik?” Tanya mami, mulai merasa cemas.
“Saya baru tahu kemarin, Mbak. Anakmu… Didi, dia hamil,” jawab Om Taufik hati-hati.
“Apa?” Mami terkejut, tapi mencoba menahan suaranya, “Hamil? Kamu yakin, Fik? Kapan kamu tahu?” Tanya mami, seolah berharap apa yang didengarnya salah.
“Kemarin, Mbak. Didi dan Rimbi datang ke rumah saya. Mereka cerita semuanya.”
Mami terdiam sejenak, “Mereka bilang mau pergi ke Pasar Senen. Jadi, mereka sebenarnya ke tempatmu, Fik?”