Bukan Lelaki Arimbi

Shinta Larasati Hardjono
Chapter #32

Pernikahan Satu Menit

Ketika Papi sampai di rumah bersama dengan Alfian, suasana sangat tegang. Papi yang biasanya tidak banyak bicara dan lembut kali ini menunjukkan sikap yang berbeda—sangat tegas dan penuh wibawa. Bisa dimaklumi, karena ini bukan masalah kecil; ini menyangkut hidup Mbak Didi, putri sulungnya, yang telah dihamili tanpa pertanggungjawaban. Papi tahu bahwa sebagai kepala keluarga, tugas utamanya adalah melindungi anak-anaknya, terutama dalam kondisi seperti ini.

Sementara Alfian, yang sudah gentar sejak awal, menuruti semua perintah Papi tanpa banyak bicara. Wajahnya tampak sangat tegang, dan dia tahu bahwa kali ini dia tidak bisa lolos dengan kata-kata manis.

"Alfian," Papi mulai berbicara setelah kami semua duduk di ruang tamu, "Saya tidak peduli dengan apapun alasanmu. Saya juga tidak ingin mendengar penjelasanmu. Yang saya pedulikan hanya kehidupan putri saya ke depannya dan tanggung jawabmu sebagai laki-laki."

Alfian menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung ke arah Papi, "Baik, Om," jawabnya lirih, suaranya gemetar.

Mbak Didi yang duduk di sampingku hanya menunduk. Aku tahu dia menahan emosi, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Alfian. Mami, yang duduk di sebelah Papi, terus memegang tangan Mbak Didi, seolah memberinya kekuatan untuk tetap tegar.

"Silakan duduk," kata Papi lagi, menunjuk kursi di hadapan kami.

Alfian duduk dengan gelisah. Dia tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah, dan apa yang akan terjadi selanjutnya mungkin akan mengubah hidupnya sepenuhnya.

"Alfian, kamu tahu kenapa kami semua di sini," kata Papi dengan nada tegas, "Kamu sudah membuat anak kami hamil, dan sekarang kamu harus bertanggung jawab."

Alfian menunduk lebih dalam lagi, "Saya... Saya…," gumamnya pelan.

"Jangan beralasan lagi," potong Papi dengan nada tajam, "Ini bukan waktunya untuk mengelak. Ini waktunya untuk bertindak."

"Maaf, Om. Saya benar-benar tidak bermaksud membuat keadaan jadi seperti ini…," Alfian berusaha memberikan penjelasan, meskipun suaranya semakin pelan dan tidak yakin.

"Sudah cukup," kata Papi dengan dingin, "Yang kami inginkan sekarang adalah solusi, bukan penjelasan. Apa yang kamu rencanakan? Bagaimana kamu akan bertanggung jawab atas perbuatanmu ini?"

Alfian diam, tangannya gemetar di pangkuannya. Dia terlihat seperti orang yang terjebak di sudut ruangan tanpa jalan keluar, "Om, saya... Saya sudah berkeluarga. Saya punya istri dan dua anak. Saya tidak bisa meninggalkan mereka..."

Mbak Didi yang sejak tadi diam, kini menatap Alfian dengan mata yang penuh luka, "Alfian, kamu bilang bahwa kamu sudah tidak bahagia dengan istrimu. Kamu bilang bahwa rumah tangga kamu di ambang kehancuran. Kamu bilang istrimu berselingkuh! Semua yang kamu katakan selama ini ternyata bohong!" Suara Mbak Didi gemetar, namun penuh dengan kekecewaan.

Alfian menunduk lebih dalam, tidak bisa menjawab, "Saya... Saya tidak tahu harus bilang apa..."

Papi mendesah, nadanya terdengar lebih tenang tapi tetap penuh tekanan, "Alfian, apakah kamu menyadari betapa besar dampak perbuatanmu ini terhadap anak saya? Kamu tidak hanya mengkhianatinya, tapi juga menghancurkan harapan dan kepercayaannya."

"Maaf, Om. Saya tidak tahu kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Saya... Saya tidak bermaksud menyakiti siapapun," Alfian mencoba membela diri, meskipun suaranya terdengar semakin lemah.

Mami yang sedari tadi diam akhirnya bersuara, "Alfian, kami tidak butuh maafmu sekarang. Yang kami butuhkan adalah solusi. Bagaimana kamu akan menebus kesalahanmu? Apakah kamu hanya akan lari begitu saja dari tanggung jawabmu sebagai seorang laki-laki?"

Alfian terdiam. Dia tampak sangat bingung dan takut, namun tidak memiliki jawaban yang memadai, "Saya... Saya benar-benar tidak bisa meninggalkan keluarga saya, Bu..."

Mendengar itu, Mami menatap Alfian dengan tatapan yang tajam, "Kami tidak meminta kamu meninggalkan keluargamu, Alfian. Tapi sebagai laki-laki, kamu harus bisa bertanggung jawab atas perbuatanmu. Kamu sudah menghamili anak kami. Bagaimana nasib anak di dalam kandungan Didi ini kalau kamu terus mengelak dari tanggung jawab?"

Papi menambahkan, "Kami hanya ingin kamu bertanggung jawab secara hukum dan moral. Kami tidak akan memaksa kamu untuk menikahi Didi jika itu di luar kemampuanmu. Tapi kami butuh jaminan bahwa anak ini akan mendapatkan kehidupan yang layak."

Alfian semakin terpojok, "Saya tidak tahu harus bagaimana, Om. Saya akan bicara dengan istri saya, tapi saya butuh waktu."

"Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?" Tanya Papi, suaranya terdengar sabar meski jelas-jelas kecewa, "Waktu tidak akan mengubah kenyataan bahwa anak kami sedang hamil dan membutuhkan kepastian."

"Saya... Mungkin butuh beberapa hari untuk bicara dengan istri saya dan keluarganya," jawab Alfian dengan gugup.

Mbak Didi yang sejak tadi berusaha menahan tangis akhirnya melepaskan emosinya, "Alfian, aku tidak bisa terus menunggu! Aku sudah terlalu lama percaya dengan semua kebohonganmu. Sekarang aku hanya ingin kepastian, demi anak ini!"

Alfian tersentak mendengar suara Mbak Didi yang penuh kesakitan. 

—-

Selang lima belas menit kemudian, Krisna dan Hans—tiba di rumah. Mami yang sebetulnya sudah siap sejak tadi tidak banyak mengulur waktu. Dia segera memerintahkan kami semua untuk bersiap berangkat ke Cipayung.

Papi dan Krisna naik satu mobil bersama Alfian, Mami dan Mbak Didi di mobil kedua, sementara aku dan Hans berada di mobil ketiga.

—-

Perjalanan memakan waktu kurang lebih hampir tiga jam. Jam menunjukkan jam delapan malam. 

Rumah kyai yang akan menolong mbak Didi didominasi dengan cat warna hijau tua. Tidak dipagari dan dan dikelilingi oleh banyak pohon tidak terawat. 

Rumahnya juga tidak bisa dibilang bagus. Di beberapa bagian tembok rumahnya tampak bolong. Warna cat hijaunya juga sudah pudar.

Di dalam, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi duduk kami mengelilingi sebuah meja yang sudah diapit dengan empat kursi kayu yang saling berhadapan. 

Mbak Didi dan Alfian duduk bersebelahan. Kyai Rahmat, nama kyai tersebut, duduk di seberang berhadapan dengan mbak Didi dan Alfian. Sementara posisi papi berada di sebelah si kyai.

Di atas meja terdapat sepasang buku nikah, dua lembar kertas, dua buah alat tulis, materai, selembar kerudung panjang berwarna putih dan sebuah gelang emas. 

Mbak Didi dan Alfian hanya terpaku dalam diam. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut keduanya. Keduanya bingung, menerka-nerka apa yang akan terjadi di tempat ini. 

“Bisa kita mulai saja, Pak, Bu?” Tanya kyai Rahmat kepada papi dan mami.

“Silakan, pak Kyai. Lebih cepat lebih baik. Semuanya mohon dilaksanakan seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya,” jawab papi. 

“Baik,” sahut sang kyai.

Kyai Rahmat menarik nafas dalam. Kemudian membaca ‘bismillah’.

“Calon mempelai laki-laki hadir ya, Pak. Yang mana orangnya dan nama lengkapnya siapa?” Tanya kyai Rahmat.

Lihat selengkapnya