Arimbi tahu bahwa dirinya sudah bertindak benar. Tidak ada seorang pun yang akan semakin dirugikan dan semakin tersakiti kalau hubungan ini disudahi. Seharusnya sejak dulu Arimbi berani mengambil keputusan ini.
Keputusan yang bukan didasari oleh pihak ketiga. Bukan juga karena didasari oleh emosi sesaat. Keputusan ini datang dari dalam hati Arimbi yang memang sudah lama merasakan bahwa hubungannya dengan Hans tidak membawanya ke arah kebahagiaan. Melainkan kepada arah ketidak bahagiaan. Hubungannya dengan Hans bukan didasari oleh rasa sayang dan rasa cinta.
Sejenak Arimbi sempat berpikir apakah keputusannya justru dipicu kepada rasa sayangnya terhadap Yerry. Namun dengan cepat ditepisnya prasangka itu menyeruak semakin dalam mempengaruhi pikirannya.
Meski Yerry dan Arimbi saling menyayangi. Namun masing-masing menolak menjadi orang ketiga. Mereka saling menjaga dari kejauhan. Mereka sangat paham bahwa tindakan dapat dikendalikan apabila mereka memang menginginkannya. Mereka percaya bahwa rasa sayang yang sesungguhnya adalah melihat kebahagiaan dalam kehidupan orang yang mereka cintai.
Keinginan untuk mengendalikan, karena ada pihak lain yang akan tersakiti. Walaupun di luar itu semua, mereka memiliki keterbatasan dan tidak mampu menghalau serta memberi pagar tinggi terhadap perasaan mereka masing-masing.
Arimbi meraih ponsel yang diletakkannya di samping bantal. Malam itu sudah pukul dua belas malam.
[SMS delivered] Arimbi: Lagi apa?
[SMS received] Yery: Masih deadline di kantor. Kok belom tidur? Knp?
[SMS delivered] Arimbi: Belom.
[SMS received] Yery: Iya kenapa? Udah malam. Besok kamu ngantor.
[SMS delivered] Arimbi: Aku putus dari Hans.
Kemudian agak lama SMS Yerry mendarat di layar ponsel Arimbi. Ketika mata Arimbi sudah mulai agak terpejam, ponselnya berbunyi lagi.
[SMS received] Yery: Ada apa? Kamu berantem lagi sama Hans? Putus bukan solusi. Bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik.
[SMS delivered] Arimbi: Akan selalu berantem kalau dengan Hans. Juga gak akan pernah ada solusi kalau bicara Hans. Ujung-ujungnya selalu harus aku yang mengalah. Aku lelah.
[SMS received] Yery: Dalam sebuah hubungan ada saatnya kita harus ngalah, Rimbi. Kamu juga jangan keras kepala.
[SMS delivered] Arimbi: Aku gak keras kepala, Yer.
[SMS received] Yery: Lalu?
[SMS delivered] Arimbi: Memang harusnya dari dulu aku ambil keputusan ini. Tapi lebih baik terlambat daripada gak sama sekali.
[SMS received] Yery: Kamu bobo ya. Besok kita ngobrol lagi. Kamu pasti udah ngantuk. Nanti malah kesiangan bangun besok.
[SMS delivered] Arimbi: Iya.
[SMS received] Yery: Besok pagi aku bangunin kamu. Handphonenya jangan dijauhin. Nanti aku telpon kamu malah gak denger.
[SMS delivered] Arimbi: Aku taro di sebelah bantal.
[SMS received] Yery: Sambil dicharge ya. Good night, Rimbi. Sleep well and sweet dreams.
[SMS delivered] Arimbi: Good night, Yer.
Ingin sekali rasanya Arimbi menyampaikan demikian rindu dirinya kepada Yerry. Namun ditahannya. Tidak pantas rasanya mengucapkan sebuah kata rindu, di malam yang sama ketika dirinya baru saja menyudahi hubungannya dengan Hans.
Arimbi berusaha menghargai dirinya sendiri. Juga berusaha menghormati perasaan Yerry. Arimbi tidak mau kalau Yerry merasa menjadi penyebab dari putusnya hubungan Arimbi dengan Hans.
“Tapi apa salahnya kalau aku bilang kangen ke Yerry? Toh memang itu yang malam ini emang lagi aku rasain banget. Paling tidak aku harus jujur terhadap diriku sendiri. Aku kangen dan butuh dukungan dari Yerry. Kata-katanya bisa membuatku merasa tenang dan merasa terhibur. Dengan aku bilang kangen ke Yerry, kan bukan berarti aku selingkuh. Selingkuh? Siapa yang selingkuh? Selingkuh dari siapa? Aku kan udah gak ada hubungan lagi sama Hans. Aku sekarang single. Lalu apa di mana letak kesalahannya?” Arimbi berdialog dengan dirinya sendiri.