Arimbi tidak mampu memejamkan matanya lagi. Dadanya terasa sangat perih karena kesedihan yang menggunung. Dadanya berat. Sakit tak tertahankan.
Mami.. Papi.. Rambut-rambut putih dan garis-garis umur di wajah mereka semakin hari semakin mendominasi.
Sangat paham, ya aku sangat paham. Mungkin hanya tinggal hitungan tahun mereka akan menutup kehidupan. Lalu kapan lagi aku bisa membahagiakan mereka?
Mungkin, dengan memberikan hak panggung pentasku, bisa menjadi sebuah pelipur lara untuk mereka. Di tengah-tengah badai rasa malu akibat perbuatan mba Didi dan Alfian, mungkin aku bisa menjadi setitik air di tengah padang pasir yang saat ini menimpa Mami Papi.
Mungkin, aku juga bisa mendapatkan tempat di hidup Papi Mami. Tidak lagi menjadi warga kedua. Tidak lagi menjadi bayang-bayang kakak dan adikku. Aku akan bisa sejajar dengan mereka. Aku akan memperoleh kasih sayang yang sama kadarnya dari Papi Mami. Sesuatu yang sudah sewajarnya kudapatkan.
Namun aku juga tidak ingin dihantui kecemasan dan kekhawatiran akan bertambahnya jumlah rambut putih maupun kerut mereka.
Aku juga tidak ingin menyerahkan hak hidup dan kebahagiaan milikku.
Aku menolak menukarnya dengan harapan banyaknya cinta yang akan aku peroleh setelah itu.
Aku menolak menghitung tegak jari-jemari datangnya hari kiamat kebebasanku.
Ini hidupku. Panggung pementasan milikku sendiri.
Seandainya saja aku bisa menjadi sutradara untuk hidupku. Maka di setiap adegan, masing-masing aktor akan aku bebaskan memilih peran dan kostum apa yang ingin mereka pakai.
Kemudian karena akulah yang mengatur dengan bebas jalan cerita yang dipentaskan di atas panggung, maka semua pemain akan mendapatkan hadiah, yaitu lakon yang sangat memuaskan bagi diri mereka.
Tidak ada batasan. Kebebasan. Semua bebas.
Setiap tokoh di setiap ceritaku, tidak boleh mengorbankan diri untuk tokoh lain. Semua harus hidup bahagia seperti keinginan dan impiannya masing–masing.
Namun kapan lagi aku bisa membalas jasa Papi Mami? Tak ada kata-kata yang bisa mewujudkan besarnya sayangku kepada mereka.
Dua orang yang menghidupiku, yang dari sperma dan indung telur milik merekalah aku kemudian dapat menjelma menjadi janin.
Sembilan bulan setelah itu aku lahir. Mereka membelikan aku popok sampai membersihkan ”kotoran” yang keluar dari tubuhku ketika bayi, mengajari cara berjalan, membayar uang sekolah dan kuliahku.
Bahkan masih memberiku makan, minum dan tempat tinggal yang nyaman sampai umurku sudah menginjak angka dua puluh sembilan tahun ini.
Semuanya, gratis!
—