Bukan Lelaki Arimbi

Shinta Larasati
Chapter #45

Love. . . Affection. . .

Pukul setengah delapan malam, Arimbi dan Yerry telah sampai di cafe tempat biasa mereka selalu bertemu. Keduanya memesan menu yang sama seperti sebelum-sebelumnya, yaitu dua black coffee dan calamari.


“Jadi gimana ceritanya, Sayang. Kamu mau ngekos di mana?” Yerry bertanya membuka percakapan.


“Di belakang kantor. Di jalan kecil tembus ke daerah jalan Satrio,” Arimbi memberikan penjelasan atas pertanyaan Yerry.


“Sudah kamu bayar? Belum kan?” Yerry bertanya lagi.


“Besok,” jawab Arimbi memberi konfirmasi.

 

“Jangan dibayar dulu ya. Besok kita ke sana lagi. Aku pengen liat kosannya kaya apa. Aman gak? Ada berapa orang yang ngekos di sana?”

 

“Gak tau juga ada berapa orang. Emangnya aku ngitung satu-satu hehehe… Tapi ada tiga lantai dan gedungnya ada dua,” Arimbi tertawa terkekeh.

 

“Ya si gak bakal kamu itung satu-satu juga hahaha..” Yerry ikut tertawa, kemudian menyambung kalimatnya, “Tapi lumayan gede juga tu ya. Ada tiga gedung, setiap gedung ada tiga lantai. Kalo satu lantai ada tujuh pintu, berapa tu ya sebulan dapatnya si pemilik kosan?” Yerry mulai berhitung membayangkan betapa lumayan banyak jumlah uang yang akan diterima oleh pemilik kos.

 

“Yak, Yerry si otak marketing mulai berhitung, hahahahaha,” tawa Arimbi menyaksikan kekasihnya kepo.

 

“Kok ketawa, hahaha? Kalau satu pintu lima ratus ribu per bulan, berarti lima ratus ribu dikali tujuh pintu dikali tiga lantai dikali tiga gedung. Tiga puluh satu juta lima ratus ribu, Sayang. Lumayan juga. Itu kalau lima ratus ribu per bulannya lho.”

 

“Ya kali, Sayang, masa per pintu harga sewanya cuma lima ratus ribu? Murah banget hahaha. Paling gak sebulan sejuta lima ratus. Potong wifi, gaji penjaga kosan, air, keamanan, laundry. Baru deh itu bersih diterimanya berapa tuh tiap bulan."  

“Yang berarti udah pasti dua kali lipatnya deh tu. Minimal.”

“Resign deh aku langsung kalau punya kosan kaya gitu. Tiap hari kerjanya ngecekin kosan, siaran, terus ngemsi kalau pas lagi ada job. Bener gak, Yang? Hehehehe.” Yerry berkhayal sambil terkekeh.

“Haluuuu, hahahaha,” Arimbi terbahak.

 

“Eh, jangan malah diketawain, musti diaminin. Semua itu dimulai dengan mimpi. Bukan gak mungkin lho nanti aku beneran punya. Kalau kata si Amin lho yaaaa,” Yerry berkata lagi.

 

“Lah, kok jadi si Amin, hihihi. Aamiin, Sayangg,” Arimbi mengamini keinginan dan impian Yerry.

 

Kemudian melanjutkan kalimatnya, “Aku doain terus deh tiap malam. Harus rajin-rajin nabung. Aku juga pengen si dari dulu punya kosan.”

 

“Nah, pas deh tu! Nanti aku yang beli, kamu yang ngurusin kosannya ya,” Yerry memberikan ide dengan muka serius.

 

“Maksudnya?” Arimbi bertanya ingin tahu.

 

“Iya, jadi nanti aku kerja, nabung, ngumpulin uang. Kalau uangnya udah cukup, aku langsung beli kosannya. Nanti kamu yang ngurusin kosannya. Kamu yang collect uang kosan tiap bulan, abis itu kasih ke aku. Bagusnya di daerah mana ya menurut kamu?”

 

“Terus kamu ngapain?”

 

“Aku? Aku ya duduk santai lah, kan aku yang beli.”

 

“Enak ajaaa,” Dua mata Arimbi sedikit membesar memprotes perkataan kekasihnya tersebut. Mulutnya juga mengerucut.

Lihat selengkapnya