“Rimb, temenin gue ke kantin bawah bentar yuk,” Ghea, teman akrab kantor, yang sekaligus sudah menjadi teman satu kosnya sekarang, berkata mengajak Arimbi. “Istirahat bentar, kepala gue mumet banget ni. Secara Senin, kerjaan gue ampun, banyak banget.”
Arimbi menoleh ke arah jam tangan yang melingkari tangannya, pukul enam kurang sepuluh. Biasanya di jam-jam seperti ini, dia sudah harus menghentikan pekerjaan agar bisa cepat pulang dan sampai di rumah tidak terlalu malam.
Namun mulai hari ini sudah tidak lagi. Arimbi sudah tidak perlu lagi merasa ketakutan ditegur oleh mami kalau terlambat pulang dari kantor. Dia bebas menyelesaikan deadline pekerjaan dan tanggung jawabnya di kantor sampai betul-betul selesai. Dirinya bebas sesukanya untuk pulang jam berapapun dari kantor, atau ingin melakukan aktivitas lain di luar kantor.
Semaunya. Bebas. Tanpa tekanan.
Arimbi sangat bahagia dengan keadaan ini. Sangat berbahagia. Baginya, tidak ada hal lain yang lebih membahagiakan selain hak otonomi yang dia miliki atas dirinya sendiri.
“Ya udah, yuk,” jawab Arimbi menyetujui ajakan Ghea. “Lucu juga kayanya ngopi di bawah.”
“Lo gak harus pulang buru-buru kan?” Ghea bertanya.
“Selow gw sekarang, hehe. Lo mau sampai jam berapa pun hayu. Siapa takut?” Sahut Arimbi meneruskan kalimatnya.
“Hahaha…. Anak kos ni ye,” tawa Ghea terdengar dengan kata-kata temannya tersebut.
“Lo juga ni ye, anak kos, ciyee, hahaha,” Arimbi ikut tertawa mendengar gurauan Ghea. “Yuk, let’s go ago goo…”
Keduanya berjalan ke arah lift, turun ke lobby lantai satu.
—-
“Eh, Ghe, menurut lo Yerry orangnya gimana?” Tanya Arimbi setelah sampai di kantin bawah.
“Yerry? Baik kok. Gak ganteng-ganteng banget juga siii, tapi menarik, kalau menurut gw,” Ghea menjawab.
“Hahahaha rese banget lo. Jadi menurut lo Yerry jelek gitu?”
“Ya gak juga, hahaha,” tawa Ghea. “Gw sih lebih seneng lihat cowok yang menarik yaaa, daripada cowok ganteng. Karena ganteng bisa hilang, Rimb. Tapi kalau cowok menarik itu kan long lasting,” jelas Ghea.
“Ya siiii…” Sahut Arimbi.
“Kalau cowok sudah tua, keriput, ompong, mana ada ganteng-gantengnya acan, Rimb, hihihi.”
“Masih ada kok gantengnya, Ghe, masih kelihatan, asal lihatnya dari Monas pake sedotan kecil, hahahaha.”
“Hahaha, jokes lo garing bokkk.”
“Nanti kita pulang bareng yuk, Ghe.”
“Iya dong bareng, kita kan sekosan, hehe,” jawab Ghea.
“Jadi weekend ke mana ni kitaaa..” Arimbi bertanya sambil mengedipkan mata ke arah temannya.
“Clubbing yuk, haha.”
“Bungkus!” Arimbi menyetujui.
“Eh, Rimb, hubungan lo sama Hans gimana sekarang? Udah baikan lagi belum?”
“Aduh, ke laut, Ghe.”
“Maksudnya ke laut?”
“Iya, udah ke laut sama ubur-ubur, hihihi,” jawab Arimbi sambi tertawa.
“Ubur-ubur? Hahahaha.”
“Hans sama gw udah putus,” Arimbi memberitahu.
“Serius lo udah putus?” Ghea bertanya memastikan.
“Iya.”
“For good?” Tanya Ghea lagi.
“Yoi, for good!”
“So sorry to hear that, Rimb.”
“Hahahaha, gak usah ‘so sorry to hear that’ kaya begitu, Ghe.”
“Dih, kenapa?”
“Gak ada sedih-sedihnya. Gw malah happy. Lega banget rasanya.”
“Kok bisa begitu sih, Rimb? Lo kan sudah jalan pacaran lumayan lama sama Hans padahal,” Ghea bertanya karena merasa penasaran.
“Ya bisa-bisa aja. Gw cinta, mau gimana?”
“Lo gak cinta tapi pacaran tiga tahun. Bijimane ceritanya bisa begitu? Eh, bener kan sudah tiga tahun?”
“Iya bener, tiga tahun.”
“Iya, terus?”
“Ya gak terus-terus, Ghe. Terus-terus nanti malah nabrak tembok. Persis kaya hubungan gw sama Hans sekarang: nabrak tembok, hahaha!”
“Lo gak sayang sama waktu, Rimb? Buang-buang waktu gak sih lo tuh. Tiga tahun kan lumayan lama.”
“Buat gak ada yang lumayan lama. Semua kan harus dijalankan pakai hati. Kalau sudah menyangkut soal romance relationship, kita sudah susah kalau harus berpikir pakai rasio terus-terusan, Gheaa… Karena di dalam relationship itu ada hati dan rasa yang perannya lebih banyak dari logika,” Arimbi menjabarkan mengenai arti sebuah romance relationship versi dirinya kepada Ghea.
“Lo bener juga si. Tapi kenapa gak lo kelarin aja dari kemaren-kemaren? Kenapa lo harus tunggu sampai tiga tahun. Itu lho maksud gw,” tanya Ghea lagi.
“Mendingan terlambat daripada gak sama sekali. Gw gak mau nyesel nanti di kemudian hari. Karena gw gak mau ngikutin kata hati gw. Kan gak enak Ghe, kalau kita ngejalanin sebuah romance relationship tanpa hati. Kita jadi kaya robot. Gak ada kehidupan.”
“Selama tiga tahun kemaren lo jalan sama Hans tanpa hati?”
“Ternyata iya. Gw baru sadar belakangan, alias telat sadarnya. Jadi begitu gw sadar, ya gw langsung stop hubungan gw itu sama Hans.”
“Lo jadi terkesan gak adil sih, Rimb….” Sahut Ghea.
“Lebih gak adil lagi kalau gw terusin dong, Ghe. Gak adil buat gw dan gak adil juga buat Hans.”
“Jadi lo langsung putusin gitu aja? Dia langsung nurut aja putus dari lo?”
“Ya gak lah. Nolak banget gw putusin.”
“Ceilee, hahahaha, sok kece banget lo, Rimb. Kesannya jadi kaya dikejar-kejar banget sama laki.”
“Hahahahaha, gak jugaaaa malihh… Gak ada tu gw berasa kaya kecakepan atau apa. Tapi memang Hans nolak,” Arimbi menjelaskan.
“Jadiiii,” Arimbi meneruskan lagi kalimat penjelasannya. “As for your info, Hans itu memang juga sudah memperlakukan gw dengan gak baik. Rada-rada psycho, posesif. Tapi posesifnya bukan posesif yang asik, Ghe. Bukan posesif jealous yang bisa bikin kita ciwi-ciwi jadi tersanjung.”
“Itu dia sudah kaya gitu sejak lo berdua pacaran?”
“Sebenarnya sudah mulai ada. Sudah mulai kelihatan. Tapi gw nya yang belum nyadar. Gak ngeh.”
“Mulai kapan lo notice?” Tanya Ghea.