Dua bulan kemudian.
Pukul setengah empat subuh, mami sudah membangunkan Arimbi.
“Ayo bangun, Rimbi. Rimbiiii,” Suara mami terdengar sambil mengetuk pintu kamar Arimbi berkali-kali.
“Iya, Mamii,” Arimbi menjawab sambil bangkit dari ranjang. Langkahnya terasa sangat berat.
Arimbi membuka kunci pintu dengan pelan. Terlihat mami berdiri di balik daun pintu.
“Ayo cepat turun, Rimbi. Bu Sastro, tukang paes kamu jam setengah lima akan sampai,” kata mami.
“Iya, Mami.”
“Ayo sekarang. Kamu mandi dulu. Mami sudah buatkan kamu susu dan sarapan.”
“Iya, Mami.”
“Ayo jangan iya-iya terus. Nanti waktu kamu lagi didandanin kamu gak akan bisa sarapan. Masuk angin kamu nanti.
“Iya, Mami,” Arimbi kembali mengatakan “iya”. Lalu membalikkan badan berjalan menuju ranjang.
“Rimbi! Ayo keluar. Kok malah masuk kamar lagi?”
“Iya, Mami.”
“Iya jangan iya-iya terus dong, Rimbi. Kamu ini bagaimana sih? Mami udah bangun dari jam tiga pagi nih. Mbok cepat, jangan susah-susah diatur! Bu Sastro sebentar lagi sampai!” Intonasi suara mami mulai agak tinggi. Merasa kesal melihat sikap Arimbi.
“Iya, Mami. Nanti aku turun sebentar lagi,” jawab Arimbi yang telah duduk di pinggir ranjang, dengan suara pelan, karena menahan gejolak penolakan dirasakan.
“Ya sudah cepat tapi ya kamu. Jangan lama-lama turun untuk siap-siap,” mami menjawab sambil membalikkan badan menuruni anak tangga, dan meninggalkan Arimbi yang masih di dalam kamar.