Bukan Lelaki Arimbi

Shinta Larasati
Chapter #51

Perpisahan Yang Tak Terucap

Pagi itu, ketika Arimbi bangun untuk menghadapi hari pernikahannya, seluruh tubuhnya terasa berat. Mami telah membangunkannya dengan lembut, tapi di dalam hati, Arimbi merasa hampa. Setiap langkah menuju pernikahan dengan Hans terasa seperti sebuah pengkhianatan besar terhadap perasaannya sendiri—terhadap Yerry.

Sejak pernikahannya dengan Hans ditetapkan, Arimbi selalu hidup dengan bayang-bayang kesedihan. Dia tak pernah bisa sepenuhnya melepaskan Yerry dari hatinya. Meskipun ia tahu bahwa menikahi Hans adalah keputusan yang sudah diatur demi kesejahteraan keluarga, hatinya selalu terpaut pada Yerry. Setiap pesan yang ia terima dari Yerry, setiap kata-kata yang menguatkan, selalu berujung pada rasa sakit yang mendalam. Yerry berusaha terlihat kuat, meski di balik pesannya, Arimbi tahu bahwa Yerry juga terluka.

Di hari pernikahan itu, setelah Arimbi membaca pesan Yerry yang mengatakan bahwa dia akan selalu menjaga dan mendukungnya, Arimbi merasa ada yang tidak beres. Pesan itu terasa seperti sebuah perpisahan terakhir. Namun, Arimbi tak punya waktu untuk merenung terlalu lama. Mami terus mendorongnya untuk turun dan bersiap. Ada begitu banyak orang yang menunggu, termasuk Bu Sastro, tukang paes yang akan mendandani Arimbi untuk hari besarnya.

Arimbi menuruti Mami, tapi hatinya terseret oleh bayang-bayang Yerry. Setiap langkah yang ia ambil menuju persiapan pernikahan terasa semakin berat, seolah kakinya tertancap pada tanah yang berlumpur. Sesak di dadanya semakin menjadi ketika ia duduk di depan cermin, melihat wajahnya yang mulai dihias untuk upacara.

Namun, Yerry, di sisi lain, sedang bergulat dengan perasaannya sendiri. Tepat di hari pernikahan Arimbi, Yerry merasa tak sanggup lagi menahan beban kesedihan yang terus menghantuinya. Cinta yang ia miliki untuk Arimbi begitu dalam, namun pada hari itu, ia harus menerima kenyataan bahwa wanita yang ia cintai seumur hidup akan menikahi pria lain.

Yerry tidak ingin menunjukkan kesedihannya kepada Arimbi. Setiap kali mereka berkomunikasi melalui pesan singkat, Yerry selalu berusaha terdengar tegar. Dia tidak ingin menambah beban pikiran Arimbi di hari pernikahannya. Namun, hatinya yang hancur semakin hari semakin sulit untuk ia tahan.

Tanpa banyak berpikir, Yerry memutuskan untuk mengendarai motornya menuju Puncak. Puncak selalu menjadi tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa merenung sendirian, jauh dari keramaian kota. Ia berharap dengan berkendara, perasaannya akan sedikit lebih lega, meski dalam hati ia tahu bahwa tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit karena kehilangan Arimbi.

Lihat selengkapnya