Setelah menikah, Arimbi merasa pernikahannya adalah penjara yang tak terlihat. Setiap hari, Hans semakin menunjukkan sisi posesifnya, mengawasi setiap langkah dan keputusan yang diambil Arimbi.
Semua dimulai dengan hal kecil. Pada awalnya, Hans hanya meminta Arimbi untuk memberitahunya kemana ia pergi. "Aku cuma ingin tahu kamu aman," katanya suatu kali. Tetapi seiring waktu, permintaan sederhana itu berubah menjadi aturan yang ketat. Arimbi tidak bisa lagi keluar rumah tanpa persetujuan Hans. Bahkan hal-hal yang dulu ia anggap sepele, seperti pergi ke kafe bersama teman-temannya, kini harus dilaporkan terlebih dahulu.
Suatu sore, Arimbi berencana untuk bertemu Ghea di sebuah kafe. Pertemuan ini seharusnya menjadi momen menyenangkan, kesempatan bagi Arimbi untuk sejenak melupakan masalah rumah tangganya. Namun, Hans tetap saja memaksa Arimbi untuk memberitahunya.
"Jam berapa kamu pulang nanti?" Tanya Hans ketika Arimbi bersiap untuk pergi.
"Nggak lama kok, mungkin dua atau tiga jam," jawab Arimbi sambil mengenakan jaketnya. "Aku hanya ingin ngobrol sebentar sama Ghea."
Hans mengangguk, tapi Arimbi bisa melihat sorot matanya yang penuh kecurigaan, "Pastikan kamu pulang tepat waktu. Jangan sampai aku harus menelepon kamu berkali-kali."
Arimbi menelan ludah. Ia tahu ancaman tersembunyi dalam kalimat itu. Namun, ia mencoba mengabaikannya dan bergegas keluar.
Saat bertemu Ghea, Arimbi merasa sedikit lebih bebas. Mereka bercanda dan tertawa bahagia dan lepas karena sudah lama tidak bertemu, karena Ghea sudah resign dan berkantor di kantor yang baru. Namun, perasaan itu tidak bertahan lama. Ponsel Arimbi bergetar di dalam tasnya. Hans menelepon. Satu kali. Dua kali. Lima kali.
Ghea yang duduk di hadapan Arimbi memicingkan matanya, melihat layar ponsel yang berkedip, "Kenapa kamu nggak angkat? Itu Hans kan?"
Arimbi menghela napas dan meletakkan ponselnya di atas meja tanpa niat menjawab, "Aku butuh waktu tanpa dia," katanya pelan, hampir berbisik.
Ghea memandang Arimbi dengan ekspresi bingung dan khawatir, "Aneh banget, lo. Kenapa Hans jadi kayak gitu? Dulu dia nggak separah ini."
"Dulu sudah seperti ini, tapi sekarang makin parah, karena sekarang aku istrinya," jawab Arimbi pahit. Kata-kata itu meninggalkan rasa sakit di tenggorokannya.
Namun, hanya beberapa menit setelah panggilan terakhir, Hans tiba-tiba muncul di kafe. Ia berjalan cepat menuju meja mereka, wajahnya tegang dan matanya menyala-nyala.
"Kenapa kamu nggak angkat teleponku?" Suaranya dingin, penuh kontrol, sambil menarik kursi dan duduk dengan kasar. Ghea tampak terkejut, begitu juga para pengunjung lain yang mulai melirik ke arah mereka.