Sejak hari pertama pernikahan mereka, Hans selalu menunjukkan sisi yang berbeda dari apa yang Arimbi bayangkan. Namun, seiring berjalannya waktu, sisi gelapnya semakin nyata. Hans bukan hanya posesif, tetapi juga temperamental. Arimbi merasa seperti hidup di atas lapisan tipis es yang bisa retak kapan saja—Hans bisa marah besar hanya karena hal-hal sepele, dan seringkali, kemarahannya datang tanpa peringatan.
Hari-hari yang dilalui Arimbi seperti menunggu bom waktu. Hans bisa meledak kapan saja, bahkan tanpa sebab yang jelas. Ia bisa pulang dengan wajah yang muram, langsung masuk ke kamar tanpa menyapa. Atau kadang tiba-tiba marah di tengah percakapan yang menurut Arimbi tak seharusnya menimbulkan konflik.
Suatu malam, saat Arimbi berusaha membuat makan malam spesial untuk Hans, segalanya berubah menjadi mimpi buruk. Hans baru pulang dari kantor dengan wajah lelah dan tidak berbicara sepatah kata pun. Arimbi mencoba untuk tidak memperdulikannya, meyakinkan dirinya bahwa Hans mungkin hanya lelah.
Namun, begitu makanan tersaji di meja, Hans langsung menunjukkan ketidakpuasannya, "Makanan apa ini?" Suaranya datar, tetapi nadanya penuh rasa jijik.
Arimbi menatap piring di depannya, bingung, "Itu ayam dengan saus krim yang kamu suka. Aku pikir kamu akan senang—"
Hans tiba-tiba menepis piring itu dari meja. Piring tersebut jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Suara pecahan piring menggema di ruang makan yang sunyi, dan Arimbi merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena kaget, tetapi juga karena ketakutan yang mulai menjalari seluruh tubuhnya.
"Makanan ini nggak sesuai seleraku. Aku minta yang sederhana, bukan yang aneh-aneh kayak gini!" Teriak Hans, wajahnya merah padam.
Arimbi merasa bingung dan sakit hati. Ini bukan pertama kalinya Hans bereaksi berlebihan terhadap hal-hal kecil. Namun, malam ini rasanya berbeda. Malam ini, kemarahan Hans terasa lebih tajam, lebih mengancam.
"Aku cuma mencoba membuat sesuatu yang spesial untukmu, Hans. Aku pikir—"
"Berhenti mencoba jadi orang yang bukan kamu!" Hans memotong dengan suara keras. "Kamu nggak bisa melakukan sesuatu dengan benar! Kamu selalu salah! Setiap kali aku pulang, selalu ada yang salah! Aku nggak pernah minta ini!"
Arimbi terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Rasa takut yang mencekam mulai digantikan oleh kemarahan yang diam-diam tumbuh di dalam dirinya. Bagaimana bisa seseorang yang mengaku mencintainya berbicara seperti itu? Bagaimana bisa pria yang dulu selalu menolak putus berubah menjadi sosok yang selalu merendahkan dan menghancurkan harga dirinya?
Tapi Arimbi tak berani membalas. Ia tahu jika ia berargumen, kemarahan Hans hanya akan semakin membesar. Hans seringkali tidak masuk akal saat marah, dan Arimbi belajar bahwa tak ada gunanya mencoba membela diri.
Hans beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekat. Matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Arimbi, seolah ingin menerkamnya. Dengan langkah cepat, dia meraih lengannya dan menariknya dengan kasar.
"Kenapa kamu selalu bikin hidupku sulit?" Bentak Hans, suaranya semakin menakutkan, "Aku nggak minta kamu jadi sempurna, tapi setidaknya lakukan sesuatu dengan benar untuk sekali ini saja!"
Arimbi terhenyak. Tangannya terasa dingin dan gemetar saat Hans semakin mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Arimbi. Arimbi bisa merasakan nafasnya yang panas dan berat di kulit wajahnya. Rasa takut merayapi tulang-tulangnya.
Namun, saat Hans mengangkat tangan, entah untuk memukul atau mengintimidasi, tiba-tiba teleponnya berdering. Arimbi yang masih berdiri kaku, tertegun. Hans melirik sekilas ke arah ponselnya, wajahnya berubah dari marah menjadi gelisah.