Arimbi duduk di ruang tamu yang hening, hanya terdengar bunyi jam dinding yang berdetak pelan. Malam itu terasa dingin, meski seharusnya ia merasa hangat di rumahnya sendiri. Pernikahannya dengan Hans terasa seperti beban yang semakin berat. Ia tahu bahwa ada yang berubah, tidak hanya dalam hubungan mereka, tapi juga dalam caranya memandang dirinya sendiri.
Hans tak pernah benar-benar menghargai Arimbi, terutama ketika ia mencoba menyampaikan pendapat atau idenya. Setiap kali Arimbi berbicara, Hans seringkali langsung menutup pembicaraan dengan menganggap apa yang ia katakan tidak penting. Semua yang Arimbi coba kontribusikan, baik di rumah atau bahkan dalam percakapan ringan tentang pekerjaan, selalu dianggap sepele.
Suatu malam, setelah makan malam yang sunyi, Arimbi memberanikan diri untuk membicarakan ide tentang proyek yang sedang dikerjakannya di kantor. Proyek ini terkait dengan strategi pemasaran radio tempat ia bekerja—bagaimana radio tersebut bisa memperluas jangkauan pendengar, terutama di kalangan muda yang mulai bergeser ke media digital.
"Hans, aku lagi bantu tim di kantor untuk bikin strategi pemasaran baru," ucap Arimbi perlahan, berusaha memulai pembicaraan dengan hati-hati. "Kami pikir, kalau kita bisa kerja sama dengan beberapa radio kampus atau buat acara kampanye di kampus-kampus, bisa nambah pendengar dari kalangan mahasiswa."
Hans, yang sedang duduk di depan laptopnya, hanya mengangkat alis tanpa mengalihkan pandangan dari layar, "Radio kampus? Kamu serius?"
"Iya," jawab Arimbi, sedikit gugup dengan respons dingin itu, "Kalau kita bisa tarik minat mereka lewat acara kampanye, kita bisa dapat pendengar baru, dan itu bisa bantu angka sales."
Hans menutup laptopnya dengan suara keras, lalu tertawa pendek, seolah apa yang baru saja ia dengar adalah lelucon, "Kamu ngerti nggak sih soal bisnis, Arimbi? Kenapa kamu selalu mikirin hal-hal kecil kayak gitu? Radio kampus? Itu nggak penting."
Arimbi terdiam, menelan ludah sambil mencoba menahan rasa sakit di dadanya, "Hans, aku bekerja di media, aku tahu apa yang sedang aku bicarakan. Ini penting untuk radio tempat aku kerja."
Hans menatapnya, kali ini dengan ekspresi penuh kesombongan, "Dengar, kamu cuma kerja di bagian media, bukan manajemen. Kamu nggak ngerti soal angka atau strategi besar. Lebih baik kamu fokus aja di bagian kamu dan biar aku urus hal yang lebih penting."
Arimbi mengepalkan tangannya di bawah meja. Setiap kali. Setiap kali ia mencoba menyampaikan sesuatu, Hans selalu menganggapnya remeh.
"Tapi aku punya pengalaman di media. Aku paham strategi pemasaran. Ini bukan cuma ide asal," ujar Arimbi, suaranya semakin lemah meskipun ia berusaha keras untuk terdengar tegas.
Namun, Hans langsung mengangkat tangannya, menghentikan Arimbi, "Stop. Aku nggak mau dengar ocehan kamu lagi."
Arimbi menunduk, mencoba menahan air matanya. Malam itu, ketika Hans beranjak ke kamar tanpa berkata apa-apa lagi, Arimbi tetap duduk di ruang tamu, merasakan kesepian yang menyesakkan. Ia merasa diabaikan, ditinggalkan dalam pernikahannya sendiri. Setiap kali ia mencoba menyuarakan ide, Hans selalu menyepelekan atau langsung menolaknya tanpa memberikan ruang untuk mendiskusikan lebih lanjut.
Hans tidak hanya menyepelekan ide-ide Arimbi dalam pekerjaan, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga mereka. Mulai dari hal-hal kecil seperti pemilihan warna cat rumah hingga rencana liburan, Hans selalu membuat keputusan sepihak.