Arimbi menatap dirinya di cermin, melihat bayangan wanita yang tak lagi sepenuhnya ia kenali. Di balik gaun biru sederhana yang dikenakannya, ia merasa ada sesuatu yang hilang—sebagian dari dirinya yang dulunya penuh kebebasan, sekarang tampak pudar. Gaun itu ia pilih dengan hati-hati, sesuai dengan apa yang membuatnya nyaman dan merasa anggun. Namun, ia tahu, Hans akan selalu punya pendapat.
Sejak menikah, perlahan tapi pasti, Hans mulai mengatur segala hal dalam hidupnya. Mulai dari keputusan-keputusan besar, hingga hal-hal yang seharusnya menjadi preferensi pribadi Arimbi. Bukan hanya soal keputusan tentang tempat tinggal atau karier, tetapi juga bagaimana Arimbi berpakaian, siapa yang boleh ia temui, dan bahkan ke mana ia boleh pergi.
Arimbi menyisir rambutnya dengan perlahan, mencoba menenangkan pikirannya sebelum turun menemui Hans. Hari ini adalah ulang tahun Ghea, dan Arimbi sangat ingin menghadiri acara tersebut. Itu akan menjadi momen baginya untuk beristirahat sejenak dari semua tekanan yang ia rasakan di rumah. Namun, saat ia melangkah turun dari tangga, ia melihat Hans sudah menunggunya di ruang tamu, duduk dengan ekspresi yang tak ramah.
Begitu Hans melihat Arimbi mengenakan gaun biru yang baru saja ia beli, wajahnya langsung mengernyit. Tatapan matanya seperti menyelidik dari atas ke bawah, mencari-cari kesalahan.
"Kamu mau pergi pakai baju itu?" Tanyanya dengan nada tajam.
Arimbi, yang sudah bisa menebak reaksi ini, berusaha tetap tenang, "Iya, ini untuk acara ulang tahun Ana. Aku suka gaun ini, Hans. Apa salahnya?" Tanyanya sambil tersenyum, meskipun hatinya mulai gelisah.
"Salahnya?" Hans berdiri dan mendekati Arimbi, matanya tak lepas dari penampilannya, "Kamu terlihat seperti mau menarik perhatian semua orang di sana. Aku nggak mau istriku jadi pusat perhatian."
Arimbi terdiam. Sudah bukan sekali dua kali Hans memaksakan pendapatnya tentang apa yang harus ia pakai. Sejak pernikahan mereka, kebebasan Arimbi untuk memilih apa yang ia inginkan—baik itu pakaian, pergaulan, atau bahkan pekerjaan—semakin terkikis. Hans selalu punya alasan untuk mengontrol setiap aspek kehidupannya.
"Tapi ini hanya acara kecil, Hans," kata Arimbi dengan suara lemah, masih mencoba mempertahankan pilihan gaunnya. "Aku ingin merasa nyaman."
"Tapi aku nggak nyaman kalau kamu pakai baju itu," balas Hans cepat. "Aku suami kamu, dan aku tahu mana yang terbaik buat kamu."
Arimbi menatap Hans dengan perasaan yang bercampur aduk—marah, frustasi, tapi juga terluka. Ia ingin berteriak, membela haknya untuk memutuskan sendiri apa yang ingin ia pakai, tapi ia tahu bahwa itu hanya akan memicu pertengkaran. Jadi, seperti banyak kali sebelumnya, ia memutuskan untuk mengalah. Arimbi perlahan kembali ke kamar, mengganti gaunnya dengan sesuatu yang lebih sederhana, lebih sesuai dengan apa yang Hans anggap layak.
Ketika Arimbi kembali ke ruang tamu, Hans menatapnya dengan puas, "Itu baru istri yang baik," katanya dengan senyum tipis.