Kesempatan emas akhirnya datang kepada Arimbi ketika kantornya menawarkan promosi besar. Setelah bertahun-tahun bekerja keras di industri media, akhirnya usahanya mulai membuahkan hasil. Posisi yang ditawarkan adalah sebagai kepala divisi pemasaran—sebuah jabatan yang diimpikannya sejak lama. Ini bukan hanya sekadar kenaikan jabatan, tetapi juga pengakuan atas dedikasinya di bidang media.
Pagi itu, Arimbi duduk di meja makan, matanya berbinar-binar penuh semangat. Hans, yang sedang membaca koran di seberangnya, tampak tidak terlalu tertarik pada kabar baik yang dibawa Arimbi. Arimbi tahu Hans tidak pernah benar-benar tertarik dengan karirnya, tetapi ia berharap kali ini Hans bisa melihat betapa pentingnya kesempatan ini untuk dirinya.
"Hans," kata Arimbi sambil meletakkan secangkir kopi di depannya. "Aku baru dapat kabar bagus. Kantor menawarkan aku promosi besar."
Hans menurunkan korannya sedikit dan menatap Arimbi tanpa ekspresi, "Promosi? Apa maksudnya?"
"Mereka ingin aku memimpin divisi pemasaran," jawab Arimbi penuh antusiasme. "Ini kesempatan besar buatku. Aku bisa lebih banyak berkarya dan membawa perusahaan ke arah yang lebih inovatif."
Namun, respons yang diharapkannya tak datang. Hans menatapnya dengan tatapan dingin, dan alih-alih ikut merasa senang, ia malah melontarkan pertanyaan yang mengecewakan.
"Kamu serius mau terima tawaran itu?" Tanyanya dengan nada datar.
Arimbi tertegun. Ia tidak menyangka reaksi Hans akan sesinis ini, "Ya, Hans. Ini kesempatan besar buatku. Aku sudah bekerja keras selama ini, dan sekarang mereka percaya padaku."
Hans menatapnya, matanya tajam dan penuh perhitungan, "Kesempatan besar buat apa? Buat ninggalin aku?"
Arimbi mengerjap, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, "Hans, ini bukan soal meninggalkan kamu. Ini soal karir. Kamu seharusnya mendukung."
Hans menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Arimbi dengan pandangan penuh kesombongan, "Karir kamu? Kamu sudah menikah sekarang, Arimbi. Karir kamu itu aku."
Arimbi merasakan dingin menjalar di punggungnya. Pernyataan Hans seolah-olah karir yang selama ini ia bangun dengan susah payah tak berarti apa-apa di mata suaminya. Padahal, pernikahan mereka seharusnya tidak menghalangi ambisi pribadi. Seharusnya mereka bisa tumbuh bersama, bukan saling menghambat.
"Hans, aku bisa menjalani pernikahan kita tanpa harus mengorbankan karir," kata Arimbi, mencoba menjelaskan. "Aku cinta kamu, tapi aku juga punya cita-cita yang ingin aku capai."
Hans tertawa sinis, menggelengkan kepalanya, "Kamu terlalu naif, Arimbi. Pernikahan itu tentang kompromi. Kamu nggak bisa punya semuanya. Satu-satunya yang penting sekarang adalah hubungan kita."
Arimbi merasa kata-kata itu seperti tembok yang menutup semua mimpinya. Hans tidak pernah menganggap ambisinya penting, seolah-olah karier Arimbi hanyalah gangguan dalam kehidupan pernikahan mereka. Setiap kali Arimbi berusaha memperjuangkan mimpinya, Hans selalu menempatkan dirinya sebagai prioritas, seolah-olah pernikahan mereka adalah dunia yang berputar hanya di sekitar dirinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan suasana yang semakin dingin di antara mereka. Arimbi semakin merasa terjepit antara ambisinya dan pernikahannya yang penuh tuntutan. Setiap kali ia menyebutkan promosi itu, Hans selalu merespons dengan sinis, mengabaikan betapa pentingnya hal itu bagi Arimbi. Hans bahkan pernah berkata, "Apa gunanya jabatan tinggi kalau akhirnya kamu cuma sibuk kerja dan nggak punya waktu buat rumah tangga?"