Hubungan Arimbi dan Hans semakin memburuk seiring waktu. Jika sebelumnya pernikahan mereka diwarnai dengan konflik dan ketidakcocokan nilai, kini suasana semakin penuh dengan kecurigaan yang menggantung di udara seperti kabut tebal yang tak kunjung hilang. Hans sering pulang larut malam tanpa memberikan penjelasan yang jelas, sementara Arimbi semakin merasa kehilangan arah dalam pernikahan mereka.
Hans tidak pernah lagi membicarakan rencananya, tak pernah menjelaskan ke mana perginya, bahkan ketika Arimbi dengan lembut menanyakan apa yang sedang terjadi. Jawaban Hans selalu singkat dan terkesan menghindar. "Ada urusan kerja," atau "Aku harus bertemu klien." Namun, malam-malam panjang yang ia habiskan di luar membuat Arimbi semakin gelisah. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Suatu malam, setelah Hans pulang lebih larut dari biasanya, Arimbi menatap jam dinding dengan cemas. Pikirannya dipenuhi pertanyaan dan keraguan yang selama ini dia pendam. Hans berjalan ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa, meninggalkan ponselnya di atas meja. Arimbi memandang ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Ia bukan tipe orang yang suka mengutak-atik barang pribadi orang lain, tetapi perasaannya malam itu tidak bisa diabaikan. Sesuatu terasa salah.
Dan kemudian, ponsel itu bergetar. Sebuah pesan masuk. Arimbi mendekat, matanya tertuju pada layar ponsel yang berkedip. Nama pengirim pesan itu asing baginya. Dengan tangan gemetar, ia membaca pesan tersebut.
"Terima kasih untuk malam yang indah."
Jantung Arimbi berdetak kencang, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras. Ia menahan napas, berusaha memahami apa yang baru saja ia baca. Pesan itu tidak perlu dijelaskan lebih lanjut—pesan itu jelas menandakan sesuatu yang tidak beres.
Ketika Hans keluar dari kamar mandi, masih mengeringkan rambutnya dengan handuk, Arimbi langsung menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. Ia tak bisa lagi menahan kecurigaannya.
"Siapa dia, Hans?" Tanya Arimbi dengan suara bergetar, matanya masih tertuju pada ponsel yang sekarang ada di tangannya.
Hans berhenti sejenak, tampak bingung, sebelum mengerutkan dahi, "Apa maksudmu?"
"Pesan ini," Arimbi menunjukkan ponsel itu padanya, menatap Hans dengan tatapan yang penuh rasa sakit dan ketidakpercayaan. "Terima kasih untuk malam yang indah. Apa maksudnya, Hans?"
Wajah Hans berubah sedikit tegang, tapi ia tetap berusaha tenang, "Itu cuma klien, Arimbi. Kamu jangan berlebihan."
Arimbi menggeleng, menahan air matanya yang hampir jatuh, "Klien? Pesan seperti ini bukan dari klien biasa, Hans. Jangan bohongi aku."
Hans meraih ponsel dari tangannya dan memutar matanya dengan kesal, "Kamu terlalu banyak mikir yang aneh-aneh. Ini cuma urusan bisnis."