Arimbi duduk di ruang tamu rumahnya yang sepi, tangannya memegang secangkir teh yang sudah dingin. Udara malam terasa semakin dingin, dan pikirannya melayang pada segala hal yang terjadi selama pernikahannya dengan Hans. Arimbi menyadari bahwa mereka berdua seperti dua orang asing yang berjalan di jalan yang sama, tetapi dengan tujuan yang sangat berbeda.
Arimbi menutup matanya, ia merasa terjebak dalam perangkap kendali yang terus-menerus ditegakkan oleh Hans, baik secara halus maupun langsung.
Arimbi menarik napas panjang, mengingat salah satu pertengkaran mereka beberapa minggu sebelumnya.
"Aku nggak ngerti kenapa kamu selalu mau berdebat soal hal-hal kecil, Hans," kata Arimbi saat mereka bertengkar mengenai keputusannya untuk menghadiri sebuah acara amal yang diadakan oleh komunitas lingkungan. Bagi Arimbi, isu lingkungan adalah sesuatu yang sangat penting, tapi bagi Hans, itu semua hanya buang-buang waktu.
"Apa sih pentingnya kamu ikut acara kayak gitu? Mereka cuma orang-orang yang berpura-pura peduli," kata Hans dengan nada merendahkan, "Kamu nggak punya urusan di sana."
Arimbi merasa dadanya sesak, "Ini bukan soal berpura-pura, Hans. Ini soal membantu orang lain dan menjaga lingkungan. Apa salahnya kalau aku ikut acara itu?"
Hans menggeleng, wajahnya penuh ketidakpedulian, "Kamu membuang waktu untuk hal-hal yang nggak penting. Fokus saja sama hal-hal yang nyata. Acara-acara amal dan kegiatan sosial kayak gitu nggak ada gunanya."
Arimbi tahu bahwa perdebatan ini bukan soal acara amal. Ini soal nilai-nilai yang mereka pegang. Bagi Hans, hidup adalah soal kontrol dan fokus pada hal-hal yang memberi manfaat langsung bagi dirinya sendiri. Bagi Arimbi, hidup adalah tentang berkontribusi untuk sesuatu yang lebih besar, tentang memberi kembali kepada masyarakat, tentang peduli pada sesama.
Arimbi mulai benar-benar sadar bahwa prinsip hidup mereka bertolak belakang. Hans percaya bahwa segala sesuatu harus diukur berdasarkan kepentingan pribadi dan keuntungan langsung. Sementara Arimbi selalu menganggap hidup sebagai kesempatan untuk berbuat baik, menghargai kebebasan, dan memberi makna bagi orang lain.
Dan itu bukan satu-satunya perbedaan di antara mereka. Arimbi selalu percaya pada kesetaraan—baik dalam pernikahan maupun dalam kehidupan. Baginya, suami dan istri adalah partner yang saling mendukung, saling menguatkan, dan saling menghormati. Namun, bagi Hans, pernikahan adalah hubungan di mana satu pihak harus memimpin dan yang lainnya harus mengikuti. Ia selalu menganggap dirinya sebagai pemegang kendali, dan Arimbi sebagai seseorang yang harus tunduk pada keputusannya.
Bab 61: Melepas Belenggu
Malam itu, ketika Hans pulang dari kerja, Arimbi memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi menunda percakapan ini. Sudah saatnya mereka berbicara secara jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.