Malam itu, ketika Hans pulang dari kerja, Arimbi memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi menunda percakapan ini. Sudah saatnya mereka berbicara secara jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Hans masuk ke rumah dengan ekspresi lelah seperti biasa, namun kali ini Arimbi tidak bisa menahan semua perasaannya. Dia memutuskan untuk mengungkapkan apa yang telah lama dia pendam.
"Kita harus bicara, Hans," kata Arimbi, suaranya tenang namun tegas.
Hans menatapnya sebentar sebelum mengangguk dan duduk di kursi di hadapannya, "Tentang apa?"
Arimbi menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, "Tentang kita. Tentang pernikahan kita."
Hans mendengus, seolah tidak menganggap penting apa yang akan dibicarakan Arimbi, "Kenapa lagi sekarang? Aku capek, Arimbi. Kita nggak perlu ribut soal ini lagi."
"Aku nggak mau ribut, Hans. Aku cuma mau bicara jujur," jawab Arimbi dengan suara lebih tegas, "Aku sudah lama merasa bahwa kita hidup di dua dunia yang sangat berbeda. Kita punya prinsip hidup yang nggak pernah cocok."
Hans menatapnya dengan tatapan kosong, seolah tak mengerti ke mana arah pembicaraan ini, "Maksud kamu apa?"
"Maksudku, aku nggak bisa terus seperti ini, Hans," kata Arimbi, suaranya bergetar karena emosi, "Aku merasa terkurung dalam pernikahan ini. Setiap kali aku ingin melakukan sesuatu yang aku yakini, kamu selalu menghentikanku. Kamu selalu merasa bahwa kamu yang benar, bahwa aku harus ikut apa yang kamu mau. Tapi aku nggak bisa terus hidup di bawah kendali kamu."