(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #3

Amarah yang Muncul Entah Dari Mana

Bunyi alarm sudah terdengar sejak beberapa waktu lalu, namun pagi ini rasanya aku tak punya tenaga untuk membuka mata. Tidur yang tak nyenyak hanya menyisakan rasa pegal yang menghimpit leher dan punggungku. Kelelahan luar biasa menempel di setiap inci tubuh, menjadikan setiap gerakan yang kulakukan terasa berat. Jika saja tak ada ujian di kampus hari ini sudah pasti aku akan terus membenamkan diri ke selimut yang hangat seharian penuh.

Dengan satu tarikan napas dalam, aku mencoba mencari semangat yang entah ada di mana. Kupejamkan mata sejenak, berharap bisa mendapatkan sedikit kekuatan. Namun, seberkas cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela kamar terasa sangat mengganggu. Aku membuka mataku dan mengalihkan pandangan untuk menghindari silau, namun sisi lain yang kulihat tak lebih baik. Kamar yang berantakan menyambutku, tumpukan buku dan catatan berserakan di meja, di sampingnya kulihat serta sebuah cangkir kopi yang setengah kosong mengisyaratkan malam panjang yang kulalui untuk menyiapkan materi ujian. Tapi aku berusaha tak menghiraukannya dan segera bangkit dari tempat tidur. Aku melangkahkan kaki untuk mengambil handuk dan menuju kamar mandi.

Suara air dari keran sedikit menenangkan pikiranku, seolah mengusir sisa-sisa mimpi buruk yang menyelimuti malam tadi. Kurasakan air dingin menyentuh kulitku dan memberi sedikit kesadaran, kuambil sedikit sabun beraroma mawar. Kepalaku sedikit mengawang, entah kenapa belakangan aku tak bisa hidup di masa kini.

Setelah sedikit lebih segar, aku mengeringkan tubuh dan memakai baju yang sudah kusiapkan sedari malam. Atasan rajut berwarna hitam dengan celana kulot putih, kupilih sepatu yang sedikit tinggi, kuharap ini bisa mengalihkan orang dari hal yang mungkin tampak aneh dariku. Setelahnya, aku berdiri di depan cermin, mengambil catokan rambut dan memutuskan untuk sedikit merapikan penampilan sebelum pergi. Kujepit sedikit demi sedikit rambut di kepalaku sambil memperhatikan setiap helaiannya. Kupandangi cermin di depanku, entah siapa gerangan yang ada di dalam pantulan itu. Aku sendiri pun ketakutan melihatnya terlalu lama, wajahnya tampak dingin seolah tak bernyawa. Sorot matanya tampak redup dan bibirnya pucat, sungguh perpaduan yang mengerikan.

Kupoles sedikit bedak dan lipstik berwarna merah keunguan, lalu mencoba beberapa ekspresi untuk membuat wajahku terlihat lebih ramah. Namun tampaknya hal itu justru membuatnya tampak lebih aneh lagi. Aku tak mau memandanginya lama-lama, sehingga memutuskan untuk segera  turun ke lantai bawah. Suara riuh dari dapur menyambutku, aroma ayam goreng yang baru dimasak mengisi udara dan menyambutku dengan kehangatan yang familiar. Orangtuaku sedang sarapan, tampak sibuk dengan piring dan gelas masing-masing.

“Makan dulu nih, Mama masak ayam goreng. Ini susu juga habisin” ujar Mama. Aku tersenyum kecil dan duduk di meja makan. Piring berisi nasi panas dan potongan ayam goreng terhidang di depanku. Segera kulahap dengan semangat, meskipun perutku terasa penuh, aku berusaha menghabiskannya hingga habis. Setiap suapan seolah menjadi pengingat bahwa aku masih memiliki dukungan dari orangtuaku, yang selalu ada di sampingku, meskipun dalam keadaan sulit. Setelah menyelesaikan sarapan, aku menatap Mama dan Ayah.

“Aku berangkat deh,” kataku yang dibalas anggukan oleh mereka.

“Hati-hati” ujar Ayah, respon mereka sedikit kekuatan tambahan saat aku melangkah ke luar dari rumah.

Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Sesampainya di garasi, firasatku kembali mengingatkan bahwa dengan pagi yang sudah kacau seperti ini, tantangan-tantangan kecil akan menghantuiku sepanjang hari. Sambil menghela napas dalam-dalam, aku menekan tombol pintu yang ada di kunci mobil lalu masuk ke dalamnya. Aku dapat mendengar suara mesin mulai terdengar halus ketika mobil itu kunyalakan. Setelah menyesuaikan kursi dan spion, aku segera menekan gas perlahan dan mengarahkannya  ke luar.

Setelah setengah jalan, aku baru menyadari bahwa mobil yang kutumpangi terasa oleng. Entah ke mana saja pikiranku melayang sejak tadi, seharusnya aku bisa menyadari lebih awal. Ketika melihat ke arah spion, terlihat jelas bahwa bagian kanan jauh lebih rendah—sialan, bannya kempes. Setiap kali ban yang kempes menyentuh aspal, ketidaknyamanan itu seperti merayap ke seluruh tubuhku, semakin memperburuk keadaan.

Di dalam kepalaku, suara-suara mulai berisik, saling berdebat dengan keras. “Bodoh, mati saja kamu! Seharusnya kamu bisa menghindari ini!” teriak satu suara. Suara lainnya mencoba menenangkan, “Sudahlah, jangan terlalu emosi. Kalau tahu dari awal juga pasti aku bakal cek dulu.” Semakin mereka berbicara, semakin aku terjebak dalam kekacauan pikiran ini. Rasa frustrasi itu seperti ombak yang datang bertubi-tubi, menghantam jiwaku.

Setiap kali sebuah mobil truk besar melintas, dorongan untuk mengarahkan mobilku ke arah jalan semakin kuat, seolah itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua suara berisik di kepalaku. Namun ada bagian dalam diriku yang tahu bahwa itu bukan solusi—bahwa aku tidak mungkin melakukan hal konyol semacam itu. Di tengah kebisingan ini, aku merasakan ada mantra yang harus kuucapkan agar hal-hal itu tidak terjadi, “Jangan berpikiran buruk, jangan berpikiran buruk, jangan berpikiran buruk, …..” Sulit rasanya untuk kembali fokus ke jalan, aku berusaha menenangkan diri. “Ini hanya sementara,” bisikku dalam hati, berusaha melawan keraguan yang menggerogoti. Untungnya tak lama aku menemukan tukang tambal ban di pinggir jalan.

“Mas, minta tolong ditambal ya ban yang belakang kanan” ujarku.

“Oh iya Neng, tunggu sebentar ya masih satu antrian lagi” jawabnya sambil tersenyum menyebalkan.

Rasa frustrasi semakin menggelora saat melihat kendaraan lain melintas dengan lancar, seolah menertawakan kesialanku.

Lihat selengkapnya