(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #6

Kartu Death

“Udah jangan galau mulu, mending kita renang aja. Mau gak?” ujar Naya yang sudah mendengarkan celotehanku tentang Juan sejak tadi pagi.

Rindu ini datang tiba-tiba, aneh sekali rasanya. Juan masih belum membalas pesan terakhirku setelah perpisahan itu. Dalam hati, aku berharap setidaknya dia mengucapkan beberapa patah kata sebelum menghilang. Namun, harapanku tampak sia-sia. Di sekitarku, orang-orang mulai menunjukkan kejenuhan mendengar cerita tentangnya. Semakin kupikirkan, semakin aku merasa bahwa aku salah telah memutuskan dia hanya karena emosi sesaat.

“Yaudah ayo, sumpah aku butuh banget udara segar biar otakku fresh lagi,” balasku, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Kami pun pergi ke kolam renang yang biasa kami kunjungi. Suasana di sana terasa menyegarkan, untungnya hari ini bukan hari libur sehingga tempatnya cukup sepi. Setelah mengganti pakaian, dan melompat ke dalam air. Rasa dingin yang menyentuh kulitku sedikit menyadarkan betapa bodohnya diriku. Bukankah aku yang memutuskan hubungan, tapi kenapa justru aku yang merasa patah hati?

Ketika kami beristirahat di tepi kolam, Naya menatapku dengan cemas. “Gimana, udah mendingan?” tanyanya.

“Gatau deh, aku belakangan ini lagi banyak masalah. Ditambah kepikiran Juan juga jadi makin cape rasanya” jawabku sambil mengusap tetesan air di wajah.

Naya mengangguk, “ Iya, aku ngerti. Buat yang masalah Juan, kangen tuh wajar kok. Kita gak bisa atur perasaan kita. Tapi sekarang kan udah lewat, mending coba buat fokus sama diri kamu sendiri. Toh kalau jodoh pasti gaakan kemana.”

“Ya, aku tau kok,” kataku. “Tapi kadang aku nyesel aja putusin dia cuma karena emosi sesaat gitu loh. Padahal kebaikan dia tuh banyak banget, cowok mana lagi yang bisa sabar nanggepin aku. Tapi ngeselin banget gak sih dia gak ada bales apapun?” jawabku.

“Ya kalau gitu sih coba aja evaluasi diri dulu, kira-kira apa aja hal yang masih perlu diperbaiki. Mungkin dia emosi, makanya gak bales. Mau coba hubungi dia lagi?” tanya Naya yang segera kutolak mentah-mentah.

“BIG NO! Udah ah naik yuk, udah dingin banget nih rasanya” ujarku yang disambut anggukan oleh Naya.

Saat di ruang ganti, aku membuka loker dan mulai mengganti pakaian. Naya sudah lebih dulu selesai dan menunggu sambil mengeringkan rambutnya.

“Eh, Gea, tapi kalau dipikir-pikir nih. Selama ini kamu selalu putus tuh tanpa alasan loh, sebenernya ada apa sih? Apa ada alasan yang aku gak tau? Soalnya aku jadi gak tau harus nanggepinnya gimana kalau setiap putus tuh gak ada masalah apapun” tanya Naya sambil menyisir rambutnya.

“Gatau, jujur aku juga bingung” jawabku sambil mengenakan kaos, akupun belum menemukan jawabannya.

Aku berdiri di depan cermin dan mengamati diriku, kupakai krim wajah sambil  melirik ponsel yang tergeletak di samping. Tak ada notifikasi apapun, hanya layar hitam yang menyambutku.

Waktu menunjukkan pukul 4 sore saat kami memutuskan untuk keluar dari kolam. Matahari mulai tenggelam, menumpahkan warna jingga ke langit yang semakin gelap, menciptakan suasana yang menenangkan. Begitu melangkah keluar, tercium aroma nikmat dari rumah makan di pinggir jalan sehingga kami memutuskan untuk mampir sejenak.

Di dalam rumah makan, suasana ramai dan penuh tawa membuatku merasa sedikit lebih hidup. Saat nasi rendang yang harum disajikan di depan kami, rasanya seperti mendapatkan pelukan hangat setelah seharian merasa dingin dan sepi. Setiap suapan nasi rendang yang kaya rasa seolah membawa sedikit cahaya ke dalam hatiku yang keruh, membangkitkan kembali semangat yang sempat redup.

“Enak banget, ya? Ini baru namanya comfort food!” Naya berkomentar sambil menikmati suapannya.

“Iya, bisa nambah 2 piring ini” balasku sambil tertawa. Makanan ini bukan hanya mengisi perut, tapi juga memberi kehangatan yang aku butuhkan. Setiap suapan terasa seperti pengingat bahwa masih ada hal-hal kecil yang bisa membuatku bahagia, meski dunia di sekelilingku terasa berat.

Kami melanjutkan makan sambil berbagi cerita, tawa, dan sedikit keluhan tentang kehidupan. Dalam momen-momen sederhana ini, aku mulai merasakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Di deket kampus lagi ada pasar malam tau, mau ke sana gak?” tanya Naya dengan semangat.

“Boleh aja sih, kayaknya seru. Udah mulai happy karena makan nasi rendang sama es teh manis” jawabku, moodku sudah sedikit membaik sekarang.

Kami segera menuju pasar malam dekat kampus setelah menyelesaikan makanan kami. Langit sudah sangat gelap ketika kami sampai di tujuan, suasana di sana sudah sangat meriah, penuh dengan warna dan cahaya yang berkelap-kelip. Begitu kami melangkah masuk ke area pasar malam, suara gelak tawa para anak kecil terdengar dari segala sudutnya. Lampu-lampu berwarna-warni menggantung di atas gerai, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.

Lihat selengkapnya