Suatu pagi yang cerah, aku melangkah keluar dari gedung fakultasku, dan tiba-tiba melihat sosok laki-laki yang tampak tak asing berdiri di sana. Dia terlihat mencolok dengan kamera menggantung di lehernya, matanya fokus mengamati sekeliling.
“Eh, kamu!” panggilannya membuatku menghentikan langkah, lalu ia mulai menghampiriku.
“Kita pernah ketemu ya sebelumnya? Aku inget jelas, kamu yang nabrak aku di pasar malam!” ujarnya setelah mendekat sambil menunjuk wajahku. Ekspresinya tampak jauh berbeda dengan yang kulihat malam itu, kali ini terlihat jauh lebih ramah tapi freak.
“Eh—anu.. Soal waktu itu aku minta maaf. Gini deh, uang laundrynya biar aku gantiin, gimana?” tanyaku dengan tak enak hati.
“Ah udahlah lupain. Gini aja, mendingan jadi responden survei untuk tugas aku.”
Aku mengernyit, sedikit ragu. “Survei? Tentang apa?”
“Jadi gini, aku lagi nulis artikel tentang perspektif mahasiswa tentang dinamika politik belakangan ini. Aku butuh pendapat yang jujur” katanya dengan percaya diri.
“Hmm, okedeh boleh” jawabku, akhirnya setuju. Setidaknya itu bisa membayar rasa bersalahku padanya.
“Yay! Akhirnya dapet juga, responden terakhir” dia mengeluarkan catatan dari tasnya dan mulai menyiapkan list pertanyaan.