(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #9

Peta untuk Keluar dari Labirin

Butuh waktu lama hingga akhirnya aku berhasil memberanikan diri untuk pergi ke psikiater dengan diantar Mama. Sudah hampir setengah jam aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku ke lantai sembari menunggu giliranku untuk berkonsultasi. Kulihat satu persatu orang masuk dan ke luar dari ruangan dokter Toni, seorang psikiater yang cukup terkenal di Bandung. Aku pernah melihatnya beberapa kali di poster seminar kampus, dan ya ternyata dia adalah salah satu alumni kampusku.

Satu per satu, pasien yang selesai melakukan konsultasi tampak meninggalkan ruangannya, sebagian besar masih muda, mungkin seumuran denganku atau bahkan lebih muda. Mereka terlihat biasa saja, tidak ada tanda-tanda gelisah atau cemas. Aku menghela napas, merasakan ketegangan dalam dadaku. Hingga akhirnya aku masuk ke ruangan setelah mendapat giliran. Di dalam aku melihat dokter Toni sedang mengetik sesuatu dengan komputer di hadapannya. Gaya pembawaannya sangat santai dan membuatku nyaman.

“Halo, namanya siapa?”

“Kegiatannya apa aja sekarang? Tinggalnya dengan siapa?”

Aku menjawab beberapa pertanyaan tentang diriku, mencoba serinci mungkin agar dokter Toni bisa lebih mengerti tentang apa yang terjadi padaku.

“Oke, dokter bisa bantu apa untuk dek Gea? Apa yang dirasakan dan ingin dikeluhkan?” tanyanya.

Aku mulai menjelaskan semuanya, tentang gejala OCD yang kurasakan, lalu emosi yang berubah-ubah, kesulitan membangun hubungan jangka panjang dengan orang lain dan banyak lagi hal lain yang kurasakan.

Dokter Toni mengangguk sambil tersenyum, “Hmm, bisa diceritakan lebih lanjut tentang itu?”

“Jadi gini Dok,” “Saya ini rasanya sulit menjaga hubungan dengan orang sekitar untuk waktu yang lam. Sering kali, saya ngerasa dikelilingi orang-orang yang toxic, dan saya pikir mereka adalah sumber semua kerumitan dalam hidup saya.”

“Menarik banget, ya,” jawabnya. “Tapi, pernahkah kamu berpikir mungkin kamu juga berkontribusi pada dinamika ini?”

Aku terdiam sejenak, merasa seperti tersentil. “Iya, belakangan ini saya mulai ngerasa seperti itu. Seolah-olah saya yang jadi racun untuk orang-orang di sekitar. Saya bisa dapat berbagai hal dengan mudah, tapi saya cenderung membuang hal-hal yang saya anggap udah nggak penting.”

“Bisa jelasin lebih jauh soal ‘membuang’ itu?”

“Kalau sesuatu nggak sesuai harapan, saya langsung pergi tanpa melihat apa yang ada. Dan pas hal-hal itu hilang, saya yang merasa ditinggalkan.”

“Jadi, ada rasa takut di balik semua itu, ya?”

“Iya, takut ditinggalkan. Jadi, lebih baik saya yang pergi duluan sebelum dilupakan.”

Dokter Toni mengangguk dengan lembut, “Kesadaran itu penting sekali. Seiring waktu, kiya bisa gali lebih dalam tentang bagaimana pola ini terbentuk dan cara mengubahnya.”

Dia tersenyum penuh pengertian. “Dan bagaimana dengan pikiran-pikiran lain yang datang? Apa hal lain yang biasa kamu alami?”

Lihat selengkapnya