(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #11

Terima Kasih sudah Jadi Sahabatku

Aku dan Kinara berjalan santai di sekitar kampus, mencari tempat yang nyaman untuk bersantai sejenak. Cuaca sore ini sangat bersahabat, sinar matahari mulai meredup, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dari pohon-pohon di sekitar. Di kejauhan, terlihat beberapa mahasiswa sedang bermain basket, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan. Kami akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi kayu yang terletak di bawah pohon rindang di dekat lapangan basket fakultasku. Daun-daun bergetar lembut, menciptakan suasana yang tenang dan damai.

Kinara mengeluarkan gelas coklat panas yang ia beli dari kantin, menghirup aroma manisnya dengan senyum di wajahnya. Sementara itu, aku mengangkat gelas es kopi dingin yang aku pesan, merasakan sensasi dingin yang menyegarkan. “Pilihan yang aneh untuk sore ini,” ujarku, tersenyum melihatnya menyesap coklat panas dengan semangat, seolah-olah cuaca tidak berpengaruh sama sekali. “Kamu tahu kan, coklat panas lebih cocok diminum pas lagi dingin.”

“Ah, tapi ini enak banget,” Kinara menjawab dengan riang, menatapku dengan mata berbinar. “Lagipula, siapa yang peduli sama cuaca? Yang penting enak!”

Kampus mulai sepi, hanya tersisa beberapa mahasiswa yang terlihat masih berkeliaran, mungkin karena ini sudah menjelang akhir pekan dan semua orang berlomba pulang cepat untuk beristirahat. Di tengah ketenangan ini, aku ingin menceritakan hasil konsultasiku dengannya.

“Kin, kemarin aku ke dokter untuk konsultasi tentang masalahku, yang waktu itu kuceritain ke kamu,” ucapku, mengawali pembicaraan dengan nada serius. Suara angin berdesir pelan, seolah mendengarkan apa yang akan aku katakan selanjutnya.

“Oh iya? Terus hasilnya gimana?” tanyanya, wajahnya berubah antusias, seolah ikut merasakan ketegangan yang menggelayuti hatiku.

“Dokternya bilang aku punya OCD dan BPD. Agak ribet sih,” jawabku dengan suara pelan, merasakan beban yang kembali menghimpit dadaku. Aku memperhatikan reaksi Kinara, berharap dia bisa memahami apa yang aku rasakan.

“Serius? Itu pasti berat. Tapi seenggaknya kamu udah tahu alasannya sekarang” Kinara merespons dengan nada empatik. “Kamu bisa mulai cari cara untuk menghadapi itu.”

“Iya, sih. Tapi pas denger itu rasanya jadi kayak ada label yang nempel di aku. Dan sekarang, aku merasa harus berjuang melawan dua hal sekaligus,” aku menghela napas, merasakan emosi campur aduk dalam hatiku.

“Jangan pikirkan labelnya, deh. Yang penting adalah gimana kamu mengelola itu,” Kinara mencoba menenangkan. “Kamu kan udah mulai ngobrol sama dokter. Itu langkah besar, loh!”

“Bener juga sih,” balasku, merasa sedikit lebih baik. “Tapi kadang, aku masih bingung sama pikiran-pikiran yang muncul. Dan kadang, hal itu bikin aku merasa terjebak.”

Kinara mendengarkan dengan seksama, matanya tidak berpaling. “Mungkin dokter bisa bantu untuk mengurangi itu, kan? Selama kamu terbuka untuk berbagi, semua bisa dibicarakan.”

“Iya, aku harap sih gitu,” kataku, sedikit optimis. “Aku cuma ingin bisa hidup tanpa merasa terbebani oleh semua ini.”

Lihat selengkapnya