Hubunganku dengan Eros semakin dekat. Kami sering mengobrol lewat chat, dan sesekali ia menelponku. Aku cukup pandai menilai sikap orang, dan sadar betul bahwa ia menginginkan hubungan kami lebih dari sekadar teman. Meskipun kami baru mengenal, ada sesuatu yang terasa familiar, mungkin karena banyak kesamaan di antara kami.
“Eh, Gea, kamu udah nonton film yang baru rilis itu?” tanya Eros suatu malam saat kami sedang chatting.
“Belum! Yang mana?” jawabku, bersemangat.
“Yang tentang perjalanan waktu itu. Katanya seru banget. Kita harus nonton bareng,” katanya, nada suaranya menggoda.
“Aku suka konsep waktu dalam film. Gimana kalau kita jadwalkan? Akhir pekan ini?” tawaranku.
“Deal! Aku bawa popcorn,” balasnya dengan emoji senyum.
Selain film, kami juga membahas hal-hal yang lebih serius. Satu hal yang membuatku sangat tertarik padanya adalah kepintarannya. Dia menekuni berbagai bidang dengan dedikasi yang mengesankan. Suatu sore, ketika kami ngobrol tentang pola perilaku manusia, Eros berkata, “Menarik ya, bagaimana cara orang bereaksi terhadap situasi yang berbeda. Kadang aku merasa perilaku itu bisa diprediksi.”
Kami juga bisa beralih ke topik yang lebih teknis, seperti komponen-komponen mesin jam tangan. Suatu malam, saat kami sedang video call, Eros bertanya, “Kamu tahu kan, setiap jam punya mekanisme unik? Misalnya, jam mekanik dan jam quartz.”
“Betul! Aku selalu ingin belajar lebih banyak tentang itu. Kayaknya kompleks tapi menarik,” jawabku, terpesona. “Apalagi jam mekanik yang ada roda gigi dan pegasnya. Pasti butuh keahlian tinggi untuk merakitnya.”
Eros tersenyum, tampak senang membagikan pengetahuannya. “Iya, dan proses kalibrasi itu yang bikin jam bisa akurat. Ada yang bilang, merawat jam tangan itu seperti menjaga hubungan. Butuh ketelitian dan perhatian.”
“Wah, analogi yang bagus! Jadi, kalau ada bagian yang kurang tepat, bisa bikin jamnya nggak berfungsi dengan baik?” tanyaku, semakin tertarik.
“Persis! Makanya, jam tangan yang berkualitas sering kali lebih mahal. Mereka tidak hanya alat penunjuk waktu, tapi juga karya seni,” jelasnya.
“Jadi, kamu ada jam tangan favorit?” tanyaku, penasaran.
“Oh, ada! Aku punya jam mekanik yang aku beli dari toko kecil di Bandung. Casing-nya dari stainless steel, dan aku suka lihat gerakan mesinnya lewat bagian transparan di belakang,” katanya dengan bangga.
“Wah, itu pasti keren! Jadi pengen lihat,” balasku, membayangkan keindahan jam itu.
“Kalau ada waktu, aku bisa pinjamkan kamu. Siapa tahu bisa bikin kamu makin tertarik!” tawar Eros sambil terkekeh. Mengobrol dengannya tak pernah membuatku bosan. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam, berbagi pemikiran dan ide.
Eros berjanji akan menjemputku untuk pergi ke acara fakultasnya hari ini. Harapanku sederhana, semoga acaranya berjalan lancar dan menyenangkan. Aku sengaja memilih baju yang simpel karena pasti akan jalan sepanjang hari dari satu stand bazaar ke stand lainnya, belum lagi ada pameran teknologi dan penampilan musik. Kaos rajut dengan celana kulot hitam dan sneakers. Eros datang tepat waktu, bahkan aku belum merapikan lipgloss di bibirku ketika ia mengetuk pintu rumah. Mama membukakan pintu, dan dari lantai atas aku mendengar Eros memperkenalkan dirinya dan meminta izin untuk mengajakku keluar. Aku agak terkejut karena tak banyak temanku yang sampai meminta izin Mama kalau mengajakku main.. Tak lama aku turun dan berpamitan untuk pergi, Mama sempat menatapku sambil menaikkan alisnya meminta penjelasan tentang siapa manusia di hadapannya itu, tapi aku pura-pura tidak tahu dan segera berpamitan.
“Jangan pulang terlalu larut ya,” ujar Mama, memberikan satu nasihat yang selalu sama setiap kali aku pergi.
“Iya, tante. Nanti pulangnya saya antar lagi,” jawab Eros sambil menyalami tangan Mama.
Eros terlihat berbeda dari pertemuan pertama kami. Hari ini, ia mengenakan kaos hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya tertata rapi. Aroma parfumnya yang segar langsung menyergap indera penciumanku, mirip dengan salah satu yang botolnya tersimpan rapi di lemari kamarku.
“Kamu cantik banget hari ini, makeup-nya cocok untuk kamu,” ujarnya, membuatku tersipu. Pujian itu terasa sangat berarti, terutama karena aku telah meluangkan waktu cukup banyak untuk merapikan penampilanku.
“Dasar, ayo cepetan berangkat! Keburu lapar nih, mau beli banyak makanan dari bazaar,” balasku, berusaha mengalihkan kegugupan yang melanda.
“Hahaha, iya, ayo berangkat. Ini aku bawain helm,” katanya sambil menurunkan pijakan kaki di motornya.
Aku mengenakan helm yang diberikan Eros, dan kami pun meluncur ke acara dengan semangat. Angin segar berhembus di wajahku saat kami melaju, dan aku tidak bisa menahan senyum.
Aula Timur kampus sudah dipenuhi lautan mahasiswa ketika kami tiba, suasananya ramai dengan tawa dan obrolan yang bercampur dengan musik latar. Banyak tenda kecil dengan poster-poster berwarna cerah terpajang di depannya. Sebelah kiri merupakan stand jualan para mahasiswa, dengan beragam makanan dan merchandise yang mengundang selera, sedangkan di sebelah kanan ada berbagai alat canggih yang dipamerkan masing-masing jurusan. Tiba-tiba seseorang dengan jaket himpunan berwarna gelap menepuk pundak Eros dari belakang.
“Eh Ros, lu habis dari mana? Jangan lupa nanti ganti shift jaga stand kelas jam 11,” ujar temannya sambil tersenyum lebar.
“Iya, nanti kesana. Mau muter-muter dulu,” jawab Eros santai, masih memandang sekeliling dengan antusias.
“Kenalin, ini temen aku, namanya Jaka. Paling pinter di kelas, kesayangan dosen,” lanjut Eros, memperkenalkan temannya dengan bangga.
“Halo, salam kenal. Aku Gea, temennya Eros,” ujarku sambil menjabat tangannya.
“Salam kenal! Eh, tumben banget Eros bawa temen, cewek pula. Biasanya dia paling berlumut karena kelamaan sendiri mulu tiap pergi,” ujarnya dengan nada bercanda, disertai tawa kecil kami.
“Ya, untungnya ada yang mau nyelametin dia dari kesendirian tak berujung ini sih” jawabku, pura-pura serius, dan kami pun tertawa bersama. Eros hanya menggelengkan kepala sambil
“Yaudah deh kalau kalian mau muter-muter lagi, gue mau jaga stand dulu. Jangan lupa nanti mampir ya,” ujar Jaka, melirik Eros dengan ekspresi semangat.
“Oke, nanti gue kesana jam 11,” sahut Eros, yang kulengkapi dengan anggukan. Sebelum Jaka pergi, aku sempat bertanya, “Eh, Jaka, ada makanan enak di stand mana?”
Jaka menatapku dengan serius, “Kalau mau yang paling enak, harus coba risol isi daging di stand sebelah kanan. Itu favorit semua orang! Sama yang pasti jangan lupa mampir ke stand kami.”
“Berarti harus kita coba!” balasku dengan antusias.
Jaka tersenyum lebar sebelum berpaling untuk kembali ke stand. Saat dia pergi, Eros menatapku, “Gimana? Seru kan di sini?”
“Seru banget! Tapi, kita harus coba risol itu ya” kataku.