Belakangan ini, emosiku terasa jauh lebih bergejolak dibandingkan sebelumnya. Rasanya seperti roller coaster, kadang aku berada di puncak kebahagiaan, tapi tiba-tiba terjun ke lembah kesedihan. Selama beberapa hari terakhir, aku hanya terkurung dalam kamarku yang berantakan, seperti kapal pecah. Laptopku menyala tanpa henti, menampilkan film-film komedi yang seharusnya membuatku tertawa, tapi anehnya justru membuatku menangis. Sudah ada empat kelas yang kulewatkan, dan dalam hati, aku berharap dosen untuk mata kuliah besok tidak hadir.
Sambil menyandarkan kepala di bantal, aku teringat pesan-pesan dari teman-temanku. Dalam beberapa hari terakhir, aku hanya membuka pesan dari Eros. Entah mengapa, aku merasa kesal saat membuka pesan dari orang lain. Ada rasa takut yang menggelayuti pikiranku—takut salah menjawab, takut membuat keadaan semakin rumit. Akhirnya, rasa ingin tahuku mengalahkan ketakutan itu. Aku memutuskan untuk membuka chat yang lain, berharap mungkin ada sesuatu yang penting.
Aku menemukan chat dari Kinara, terakhir ia mengirim pesan dua hari lalu. “Hey, Gea! Gimana kabarnya? Ayo kita jalan-jalan ke kafe baru yang buka di dekat kampus!” tulisnya. Aku ingat betapa cerianya dia ketika mengajakku pergi. Melihat pesan itu, ada sedikit rasa bersalah menyergapku. Segera, aku membalas, “Maaf, Kin. Aku lagi nggak enak badan. Mungkin kita bisa janjian lain hari?” Namun, sampai malam tiba, pesan itu tak kunjung dibalas, bahkan tidak dibaca.
Ketika hari berganti malam, aku merasa semakin terasing. Mungkin Kinara sudah bosan menunggu, atau bahkan merasa diabaikan. Namun, pikiranku dipenuhi keraguan. “Aku sudah mengabaikannya. Dia pasti khawatir,” batinku. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film, tetapi air mata ini sulit dihentikan.
Tiba-tiba, suara notifikasi mengganggu lamunanku. Pesan dari Eros muncul di layar. “Hey, Gea! Apa kabar? Ada waktu untuk ngobrol?”
“Aku lagi kurang oke, Eros. Cuma di kamar dan menonton film.”
Dia menjawab dengan cepat. “Kalau gitu, kenapa kita gak ketemu aja? Siapa tau kamu mau cari angin seger.”
“Hmmm mungkin nanti kita bisa ketemu,” balasku, meski ragu. “Tapi gak sekarang ya.”
Eros tampak memahami. “Gak apa-apa. Aku di sini kalau kamu butuh teman untuk ngobrol, atau sekadar duduk bareng aja. Gak perlu banyak kata-kata juga gak apa-apa.”
“Oke, nanti aku kabarin lagi deh ya” ujarku.
“Oke, aku tunggu kabarnya” jawabnya.
Dengan perasaan campur aduk aku menyadari bahwa meskipun semuanya terasa berat, aku masih memiliki orang-orang yang peduli. Mungkin, hanya perlu sedikit keberanian untuk membuka diri lagi.
Keesokan harinya aku berusaha mencari Kinara di gedung jurusannya, berharap bisa menjelaskan semuanya. Namun, ketika aku bertanya pada teman-temannya, mereka bilang bahwa ia tidak masuk kelas hari ini. Rasa cemas mulai menyelimuti pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku mengirim pesan dan menelponnya, tetapi tak ada jawaban. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kostnya.
Setelah sekitar dua menit mengetuk pintu, Kinara keluar dengan wajah lesu dan sorot mata yang tampak kosong. “Kamu kemana aja? Pesanku nggak dijawab, kuliah juga nggak masuk,” ujarku, berusaha terdengar santai meski hatiku berdebar.
“Kenapa kamu harus peduli aku kemana? Kamu yang kemana. Berapa hari hilang gitu aja. Selama ini aku selalu maklumi ya, tapi kali ini kelewatan. Kamu nggak pernah peduli ya kayaknya sama perasaan orang lain. Kamu merasa perasaanmu aja yang valid, kamu kira orang lain nggak punya masalah?” Bentaknya, suaranya meninggi dan membuatku terkejut. Kinara, yang biasanya ceria, kini terlihat sangat marah.
“Tunggu, maksudnya apa? Kamu kenapa?” tanyaku, berusaha memahami situasinya.