Sudah lebih dari dua jam aku menemani Kinara duduk di sebuah cafe dekat alun-alun kota Bandung. Kami memilih tempat di dekat jendela, di mana suara klakson dan deru kendaraan menciptakan kebisingan, sementara aroma alkohol memenuhi udara. Aku mulai cemas melihat Kinara yang sudah menenggak lebih dari empat sloki minuman dari botol yang ada di depannya. Sejak awal tadi, wajahnya tertunduk lesu, dan bicaranya mulai melantur. Aku merasa ada yang sangat mengganggu pikirannya, tetapi ia tak kunjung bercerita tentang masalah yang membuatnya seperti ini. Aku menahan tangan Kinara yang hampir meminum gelas kelimanya.
“Kamu kenapa sih sebenernya? Coba cerita, aku bingung kenapa belakangan kamu begini,” ujarku sambil berharap dia mau membuka diri.
Kinara menurunkan gelasnya, menatapku dengan mata yang terlihat kosong. Setelah beberapa detik hening, dia akhirnya menghela napas berat.
“Kakekku didiagnosis kanker beberapa bulan lalu, terus aku baru tahu kalau kami cuma punya satu bulan lagi,” jawabnya, suaranya gemetar, sebelum kembali mengangkat gelas yang sedari tadi ia pegang dan menenggak isinya.
Kata-kata itu menghujamku seperti petir. Dia menatapku, matanya berkaca-kaca. “Kankernya udah menyebar ke otak. Dia sering lupa, kadang bahkan gak kenal aku,” katanya dengan suara terputus-putus.
Kata-kata itu menghujamku seperti petir, jujur akupun merasakan sakit di dada ketika mendengarnya. Aku tahu betul Kinara sangat dekat dengan kakeknya, beberapa kali ia menceritakan padaku tentang kehebatan kakeknya ketika masih bertugas di dunia militer dan bagaimana sosoknya membentuk Kinara yang sekarang.
Aku memegang lengannya “Kin, aku tau kakekmu selalu jadi role model untuk kamu dan pasti berat banget. Aku sendiripun kaget dengernya” ujarku, berusaha mengingat betapa seringnya dia mengagungkan sosok kakeknya.
Kinara mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Iya, bagian paling sakitnya tuh karena sekarang dia mungkin gak akan lagi kenal aku, padahal sebelumnya selalu ceritain banyak hal ke aku, ceritanya pas muda, terus juga cerita tentang aku pas kecil” katanya, suaranya bergetar.
“Iya aku paham. Coba tenangin diri dulu ya, aku ngerti pasti ini sulit banget buat kamu. Kamu kapan terakhir ketemu sama Kakek?”
“Bulan lalu, aku bahkan tau update kondisinya cuma lewat telepon” jawabnya sambil terus berusaha mengusap air mata di wajahnya.
“ Aku tau ini sulit banget, entah untuk kamu, keluarga yang lain dan Kakek juga. Aku ikut sedih. Tapi kita harus pastiin kamu bisa ngabisin waktu sama dia.”
“Gimana caranya? Aku takut, aku gak kuat ketemunya” jawabnya, nada suaranya penuh kesedihan.
“Menurutku, kamu harus balik ke Jakarta. Seenggaknya, kamu bisa ada di sampingnya. Aku pernah ngerasain kehilangan orang yang aku sayangi juga, dan hal yang paling aku syukuri adalah ketika aku ada di waktu-waktu terakhirnya. Aku gak mau kamu nyesel nanti”
“Kalau Kakek gak inget, terus buat apa?” Kinara berbisik, tertekan oleh pikiran yang menghantuinya.
“Kinara, cinta dan kenangan itu gak akan hilang gitu aja. Kakek mungkin gak ingat wajahmu, tapi perasaan tentang kamu pasti ada di hatinya. Kalau kamu mau, aku bisa kok temenin kamu” ujarku, bisa terlihat bahwa ia berusaha menimbang-nimbang tawaran itu.
Kinara menatapku, “kamu serius mau temenin aku?” tanyanya.
“Iya, tapi aku harus izin dulu ke Mama.” Ujarku,
“Makasih banyak, Gea. Biar aku minta izin juga besok.”
“Tapi nanti, kamu masih bau alkohol. Besok pagi aja kita berangkatnya, ya? Dan kita kesananya naik kereta aja ya?” ujarku, khawatir Mama tidak akan mengizinkanku mengendarai mobil sejauh itu.
“Iya, nanti aku beresin barang-barang dulu juga” Kinara masih terlihat agak mengawang.
“Ayo balik dulu, aku anter” ujarku sambil menyingkirkan botol di depan Kinara, ia hanya mengangguk dan mengikuti langkahku ke luar kafe itu setelahnya.
Aku mengantar Kinara sampai ke kostnya, menunggunya membersihkan wajah, kaki dan tangannya sebentar. Lalu aku meneruskan perjalanan untuk kembali ke rumah, aku masih memikirkan bagaimana cara yang pas untuk meminta izin ke Mama.
Sesampainya di rumah, aku melihat Mama sedang memasak di dapur. “Gea, makan dulu. Ini baru mateng,” katanya sambil menunjuk ke wajan berisi nasi goreng di hadapannya.