(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #17

Piringan Hitam

Eros dan aku mempunyai selera musik yang kurang lebih sama, mungkin lebih tepatnya karena kami sama-sama menyukai banyak sekali jenis musik. Siang ini Eros mengajakku ke sebuah toko piringan hitam yang katanya legendaris, tempat langganan kolektor musik sejak dulu. Aku sebenarnya baru pertama kali ke sini, jadi begitu sampai, aku merasa agak kebingungan, tapi juga penasaran. Toko ini tersembunyi di gang kecil pinggir kota Bandung, diapit deretan kafe dan toko-toko antik. Dari luar, jendelanya dihiasi poster-poster para legenda musik terkenal—Led Zeppelin, David Bowie, The Clash—warna-warni pudar yang langsung memberi kesan tua dan penuh sejarah. Rasanya bersemangat sekali hari ini, aku selalu merasakan perasaan aneh di dadaku setiap melihat sesuatu yang punya kesan lampau, rasanya seperti senang tapi sesak. Eros menarikku masuk sambil menyengir, jelas senang melihat reaksiku yang terus mengagumi setiap sisi tempat itu.

Udara di dalam toko terasa berbeda, tercium campuran aroma kertas tua dan kayu. Lampu-lampunya remang, rak-rak kayu penuh dengan vinyl yang berjajar hingga ke langit-langit, tiap rak penuh dengan album yang tertata rapi. Di sudut ruangan, ada turntable tua yang terus berputar, memutar lagu jazz klasik yang mengalun pelan, membangun atmosfer yang tenang.

Eros langsung bergerak di antara rak-rak vinyl, dengan lincah dan penuh percaya diri. Jemarinya memilah-milah setiap sampul, seperti tahu persis apa yang dia cari. “Ini tempat untuk cari rilisan khusus,” katanya sambil tersenyum lebar. Eros nggak cuma sekadar kolektor—dia seperti punya radar untuk rilisan langka. Dia tahu detail rilisan dari setiap album, dengan sabar ia menjelaskan padaku berbagai versi rilisan, mulai dari pressing pertama dari Amerika hingga keluaran terbatas yang hanya diproduksi di Jepang. Dia menunjuk sebuah vinyl di rak musik rock klasik dan berkata, “Ini, press pertama dari UK. Beda banget bass-nya sama rilisan ulang.” Wajahnya sangat sumringah sambil mengamankan benda tipis itu ke tangannya.

Aku mengikuti sambil sesekali bertanya, meski tidak mengeri banyak soal vinyl tapi aku ikut merasa seolah-olah menemukan harta karun setiap kali Eros berceloteh kegirangan melihat album yang menurutnya berharga. Aku mengeluarkan sebuah album yang sampulnya tampak familiar. “Ini Queen ‘A Night at the Opera’, kan?” tanyaku dengan ragu. Eros mengangguk, “Betul, tapi ini yang pressing ‘75, harmoni vokalnya lebih tebal dari rilisan yang baru-baru.”

Di sepanjang waktu, aku mendengarkan sambil sesekali mengangguk, berusaha mengikuti. Eros benar-benar tahu banyak, dan semangatnya membuat aku ikut menikmati hari itu. Setelah sekitar satu jam berkeliling, kami akhirnya keluar dengan beberapa piringan hitam klasik di tangan Eros, katanya itu rilisan yang sudah lama dicarinya.

“Ah, gila. Akhirnya aku bisa dapetin ini semua, udah kuincer dari lama” ujarnya dengan puas.

“Temenku ada yang penyiar radio gitu, dan di gedung studio dia ada turntable yang bisa kita pake. Kalau kamu mau.” Eros terlihat sangat senang.

“Boleh, seru kayaknya. Ayo kita ke sana” Semangatku ikut menggebu-gebu hanya dengan melihatnya senang. Kami memutuskan untuk segera menuju gedung studio yang ternyata tempatnya tidak jauh dari sana.

“Aku awalnya tau toko tadi dari temanku yang ini. Terus dia juga kemarin ngajakin aku untuk ikut jadi penyiar, menurutmu aku ambil jangan tawarannya? Hahahaha”

“Serius? Ambil aja buat pengalaman, keren banget pastiii… Saluran khusus musik gitu ya?”

“Iya, khusus musik. Makanya dia ajak aku karena katanya selera musikku unik dan seru, sefrekuensi dan cocok jadi temen siarannya.” Eros menyibak rambutnya, ah sial dia tampan sekali.

Sesampainya di studio, suasana terasa nyaman dan tidak terlalu ramai. Gedung ini cukup tua, dinding-dindingnya dipenuhi poster konser dari berbagai tahun dan musisi terkenal. Hanya ada dua orang temannya yang sedang bersantai di dalam, satu duduk di sofa sambil membaca buku dan yang lain tampak sibuk dengan laptopnya.

“Hei, bang! Ini Gea, temen gue!” Eros memperkenalkanku pada temannya sambil menyengir. Aku merespon mereka, berusaha menunjukkan keramahan.

“Ohh ini yang sering lu ceritain itu, Ros” Aku terkejut mendengar responnya, menahan agar wajahku tidak tersipu terlalu merah. Eros juga terlihat salah tingkah.

Lihat selengkapnya