Kalimat Raline masih terus terngiang di kepalaku sejak menonton video beberapa hari lalu: “Kamu harus coba cari tahu alasan ketika tidak menyukai sesuatu atau seseorang. Apakah benar-benar karena merugikan kamu, atau hanya karena bayangan di otakmu. Terkadang, kita tidak menyukai seseorang karena dia memproyeksikan luka dari masa lalu kita. Itu yang sebenarnya perlu diperbaiki. Jangan langsung memutus hubungan begitu saja, cobalah menghadapi akar permasalahannya,” begitu jelasnya. Kalimat sederhana tapi menyentuh itu langsung menampar kesadaranku. Sering kali, ketidaksukaan yang kurasakan pada orang lain bisa jadi bukan masalah mereka, melainkan cerminan dari rasa sakit yang belum kuselesaikan.
Hari ini aku harus melakukan akuisisi data lapangan untuk kepentingan kuliah di luar kota bersama beberapa teman kelompokku, salah satunya Vio. Jujur sejak awal aku sudah malas melihat dia ternyata satu kelompok denganku Aku malas mendengar celotehannya yang mengganggu. Tapi aku coba untuk menerapkan nilai-nilai yang kudapat dari video Raline. Aku harus coba menccari tahu alasan mengapa aku tidak menyukai dia, pun sikapnya. Jujur saja ada beberapa alasan. Sejak kecil aku adalah tipe yang sangat sensitif terhadap kata, seseorang pernah bilang kalau memang bahasa cintaku adalah sentuhan dan perktaaan manis. Sedangkan dari yang bisa kulihat selama ini, Vio adalah orang yang sangat ceplas-ceplos tentang bicaranya, aku kadang tidak bisa menoleransi bercandaannya yang menyebalkan. Tapi setelah diingat-ingat, sepertinya ada juga beberapa hal yang ia lakukan untukku. Terkadang dia membantuku mendapat beberapa informasi akademik, meskipun kami tidak sedekat itu. Jadi, sejauh yang bisa kulihat sepertinya ini semua hanya selisih karakter, mungkin dia memang tidak berniat menyakitiku. Ah tapi tetap saja kadang dia menyebalkan sekali.
Kami berangkat dengan menggunakan mobilku untuk pergi ke lokasi penelitian, yang jaraknya lumayan jauh dan berada di daerah perbukitan. Jalannya mulai menanjak begitu kami semakin dalam masuk ke kawasan itu, diapit oleh hutan lebat di kedua sisinya. Pohon-pohon besar dengan batang tinggi menjulang memenuhi pandangan kami di kanan dan kiri, rantingnya menciptakan kanopi alami yang membuat cahaya matahari hanya menyelinap tipis di antara dedaunan.
Di beberapa bagian, jalan mulai terasa semakin sempit dan berkelok. Tanah di sekitar pun tampak miring dan berbatu, menambah kesan liar pada tempat ini. Terkadang, jalan terasa cukup curam sehingga kami harus memperlambat mobil.
Setelah menempuh jalan yang penuh tikungan tajam dan medan yang semakin sulit, akhirnya kami tiba di lokasi penelitian. Tempatnya benar-benar terpencil, dikelilingi pepohonan tinggi dan semak-semak lebat. Udara di sini terasa lebih dingin dan segar, memberikan kesan tenang sekaligus sedikit mencekam. Aku, Vio, dan 4 orang lainnya turun dari mobil, mengambil alat pengukur berupa magnetometer, dan mulai mencari titik yang tepat untuk pengukuran. Kami membagi tugas menjadi 2 orang setiap 10 titik, aku sengaja mengajak Vio untuk berangkat berdua denganku agar bisa memperbaiki hubungan dengannya.
Kami menyusuri jalan setapak yang sedikit menurun, tanahnya lembab dan licin karena semalam hujan. Vio yang berjalan di depan tampak serius membawa main unit, sementara aku berdiri agak jauh membawa tiang pendek portable untuk menangkap sinyal, kami sengaja mencopot alat setiap berpindah tempat untuk mempermudah mobilitas. Sangat sulit untuk menyeimbangkan diri di atas tanah yang tidak rata. Saat sedang mencatat hasil ketiga, kakiku tiba-tiba tergelincir di daerah lapisan tanah yang licin. Aku hilang keseimbangan dan terjatuh, tubuhku terdorong ke arah kemiringan yang cukup tajam.