Terkadang, kita jatuh cinta pada bayangan-bayangan kita tentang seseorang, dan ketika kenyataan tidak sesuai harapan, perasaan kita seolah terkuras habis. Belakangan ini, aku merasakan banyak hal yang menyebalkan. Meskipun aku berusaha keras untuk tidak menjadikan Eros sebagai pusat kehidupanku, hatiku kadang bergejolak setiap kali ia lama membalas pesanku. Rasa cemas itu menggerogoti pikiranku seperti hantu yang tak pernah pergi.
Setiap kali ponselku bergetar, jantungku berdegup kencang, penuh harapan bahwa itu adalah pesan darinya. Namun, ketika notifikasi itu tidak muncul, keraguan mulai merayap masuk ke dalam pikiranku. “Apakah dia sedang sibuk?” atau “Apakah dia sudah bosan dan ingin putus tetapi tidak tahu cara mengatakannya?” Jika jawabannya adalah yang petama—bahwa dia memang sibuk—aku bisa memakluminya. Tapi jika yang kedua, maka lebih baik aku menghentikan semua ini sebelum perasaanku semakin dalam. Aku tidak suka sesuatu yang bertele-tele. Bagiku, kejujuran adalah segalanya. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya dia rasakan, tanpa permainan kata atau keambiguan. Menunggu balasan darinya terasa seperti menghitung detak waktu, dan aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hal yang tidak terlalu penting.
Saat aku berusaha mengalihkan perhatian, entah dengan berkumpul bersama teman-teman atau menyibukkan diri dengan hobi, bayangan Eros selalu menghantui pikiranku. Di satu sisi, aku tahu aku harus menjaga jarak emosional agar tidak terlalu terikat, tetapi di sisi lain, hatiku tidak mau mendengarkan. Aku belakangan tersadar, bahwa aku mulai terlalu menggantungkan diri pada Eros, dan harus melonggarkannya sedikit.
Rasa sedih mulai menggelayut saat aku teringat Eros akan pergi jauh. Membayangkan hubungan jarak jauh membuat hatiku tertekan. Akankah aku sanggup menjalaninya? Saat ini saja, berkomunikasi dengan dia sudah terasa sulit. Seiring waktu berlalu, semakin banyak masalah yang kuhadapi. Setiap kali aku mencoba berbicara tentang perasaanku, Eros tampak menghindar. Dia sering kali tersenyum dan mengalihkan pembicaraan, seolah tidak ingin membahas masa depan kami. Aku mulai merasa terasing dalam hubungan ini. Dan ketika dia akhirnya membalas pesanku, kata-katanya terasa dingin, tidak sehangat yang kuharapkan. Aku merasa seolah sedang berperang dengan diriku sendiri, menciptakan masalah yang sebenarnya tak ada, takut kehilangan.
Terkadang, ketika aku mencoba berpikir positif, seolah-seolah semesta justru menciptakan jebakan baru. Ketika aku berkata pada diriku sendiri, “Ini hanya fase,” pikiranku langsung beralih kepada kenangan-kenangan kecil—pertemuan yang penuh canda, momen-momen ketika Eros tampak begitu perhatian. Namun, setiap kenangan itu membawa serta rasa cemas. Apakah dia masih merasakannya?
Rasa benciku pada Eros tumbuh perlahan, seperti jamur yang menggerogoti kayu. Tidak, aku tidak benci pada siapa dia, tetapi pada caranya yang sering kali tampak acuh tak acuh. Setiap kali dia berbicara tentang rencana-rencananya, tanpa melibatkan aku di dalamnya, rasa sakit itu semakin menguat. Seolah-olah dia mengambil langkah menjauh dariku, dan aku hanya bisa melihat dari jauh.
Satu hari, saat dia bercerita tentang teman-temannya, aku merasa seperti benda mati. Semua momen indah yang pernah kami bagi seolah terhapus oleh kata-kata itu. Di balik senyumnya, aku merasa ada jarak yang semakin melebar. Mengapa dia tidak pernah mempertimbangkan perasaanku? Dalam keheningan, amarahku meledak, merobek rasa cintaku yang dulu.
Setiap kali dia berusaha mendekat, ada bagian dari diriku yang menolak. Aku mulai membenci momen-momen kecil yang pernah kutunggu-tunggu—seperti pesan selamat pagi atau tawanya yang menghangatkan. Kini, semua itu terasa seperti ilusi, seolah mengingkari semua rasa sakit yang kubawa.