(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #32

Hati-hati, Kinara !

Minggu lalu, Kinara baru saja mengikuti wisuda. Ia menyampaikan bahwa hari ini akan menjadi hari terakhirnya di Bandung sebelum kembali ke Jakarta. Mendengar kabar itu, ada perasaan hampa yang perlahan menyelinap, rasanya sesak sekali di dada. Selama bertahun-tahun, hampir setengah cerita hidupku di perkuliahan kuhabiskan dengannya, berbagi tawa, cerita, dan juga keluh kesah. Kini, kenyataan bahwa kami harus berpisah mulai terasa menyesakkan. Sebagai salam perpisahan, Kinara mengajakku pergi ke sebuah worskshop pembuatan gerabah.

“Ayo, kita buat sesuatu yang bisa kita kenang,” ujarnya dengan semangat, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa sedih yang kami rasakan.

Kami tiba di workshop yang sederhana namun nyaman. Begitu kami melangkah masuk, bau tanah liat yang segar menyambut kami, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Ruangan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela besar yang memancarkan cahaya matahari lembut.

Dinding workshop dihiasi dengan berbagai karya seni dari tanah liat—gelas, patung, dan ubin yang berwarna-warni, semuanya menunjukkan betapa beragamnya teknik dan gaya yang bisa diterapkan. Di sudut ruangan, ada rak kayu yang dipenuhi peralatan, mulai dari alat pemotong hingga spons dan ember berisi air. Suasana di dalamnya terasa hidup; suara alat yang saling bersentuhan, gemerincing air, dan tawa riang dari para pengrajin yang asyik bekerja.

Kinara tampak antusias, matanya berbinar saat melihat meja besar yang dipenuhi dengan gumpalan tanah liat. Di sekitar meja, beberapa orang sedang asyik bekerja, menciptakan berbagai bentuk yang terlihat indah dan unik. Mereka berbagi tips dan trik, saling mendukung satu sama lain dalam proses kreatif mereka.

Di satu sisi, ada area kecil yang dilengkapi dengan kompor tanah liat, tempat pengeringan dan pembakaran karya-karya yang telah selesai. Aroma kayu terbakar yang lembut menciptakan nuansa hangat dan akrab. Di luar, halaman kecil dihiasi dengan pot-pot tanaman hias yang berwarna cerah, menambah kesan segar dan hidup pada workshop ini.

Kinara menghela napas dalam-dalam, tampak terinspirasi oleh lingkungan di sekelilingnya. “Tempat ini keren banget, ya? Rasanya bisa membuat kita lebih kreatif,” ujarnya, sambil mengamati setiap detail dengan penuh rasa ingin tahu. Aku pun merasa semangatku perlahan terbangun.

Di belakang workshop, ada taman kecil dengan kursi kayu yang menghadap ke kebun kecil. Suara gemericik air dari sebuah kolam kecil di sudut taman menambah kedamaian di tempat ini. Di sinilah kami akan menghabiskan beberapa jam ke depan, menciptakan kenangan yang akan selalu kami ingat.

Kami mulai dengan mempersiapkan tanah liat yang sudah dibentuk menjadi gumpalan. Kinara menunjukkan cara menguleni tanah liat agar menjadi lebih halus. “Kamu harus pakai teknik ini agar hasilnya bagus,” katanya sambil tersenyum. Aku mencoba mengikuti petunjuknya, tetapi tanganku terasa kaku dan canggung.

Setelah berunding, kami sepakat untuk membuat boneka kecil dan gelas sebagai kenang-kenangan. Kinara mulai dengan bonekanya, membentuk wajah dan tubuh yang sederhana namun penuh karakter. Sementara itu, aku fokus pada gelas yang ingin kubuat. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mencetak dan membentuk tanah liat dengan hati-hati.

Kami saling membantu, tertawa ketika salah satu dari kami gagal membuat bentuk yang diinginkan. “Kamu harus lebih sabar, Gea! Ini butuh ketelitian,” ujarnya dengan nada bercanda, membuatku merasa lebih rileks.

Setelah beberapa waktu, boneka dan gelas kami mulai terlihat seperti yang kami inginkan. Kinara menambahkan detail pada bonekanya, sementara aku berusaha menghaluskan bagian tepi gelasku. Dalam proses itu, kami berbagi cerita—tentang harapan, rencana masa depan, dan semua momen berharga yang telah kami lewati bersama. Akhirnya, saat karya kami selesai, kami berdua melihat hasilnya dengan bangga. “Ini akan jadi kenang-kenangan yang luar biasa,” kata Kinara, tersenyum lebar. Aku mengangguk setuju.

Lihat selengkapnya