(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #33

Kenapa Semua Orang Meninggalkan Aku?

Belakangan ini rasanya sangat berat bagiku. Kini ada jarak antara aku dengan orang-orang yang biasanya ada di sekitarku. Biasanya, hari Minggu seperti ini aku pergi menghabiskan waktu dengan Eros atau Kinara, tetapi kini aku sendiri di kamar. Dadaku sakit sekali, rasanya sesak sampai tak bisa bernapas. Entah kenapa hal ini selalu terjadi setiap kali aku memikirkan tentang kehilangan atau ditinggalkan. Kepalaku mulai penuh dengan pikiran buruk dan obsesif yang muncul tiba-tiba.

“Jangan berpikiran buruk, jangan berpikiran buruk, jangan berpikiran buruk, jangan berpikiran buruk…” Mulai muncul semua kemungkinan buruk yang mungkin terjadi di dunia, dan seperti biasa, aku harus mengucapkan satu kalimat mantra untuk menghalau hal-hal buruk itu terjadi. Hari ini kepalaku menjadi lebih parah dari biasanya, padahal sudah lama aku tidak merasa separah ini. Kuambil obat yang diberikan dokter Toni padaku, kutengguk obat itu dengan segelas air yang kugenggam di tangan. Aku berbaring dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut, tak lama kemudian tubuhku gemetar dan lemas, kepalaku mulai terasa berat. Perlahan, mataku mulai menutup, dan pikiran buruk serta obsesif yang tadi terasa kuat semakin memudar hingga akhirnya aku tertidur nyenyak. Tidak ada kecemasan, tidak ada mimpi.

Paginya, aku berjalan ke gedung jurusanku dengan langkah gontai. Aku harus datang ke kampus hari ini untuk membicarakan proyek yang sedang kulakukan dengan salah satu dosen, Pak Darmono. “Kalau bisa nanti kita publikasikan jurnalnya bulan September, ya. Tinggal beberapa bulan lagi. Seperti yang kamu tahu, untuk syarat kelulusan magister, itu jurnalnya harus accepted di publikasi internasional. Kalau bukan September, artinya kamu gak bisa menyelesaikan studimu dalam tiga semester dan…” Tak ada satupun kata yang masuk dan tersimpan di kepalaku. Aku hanya mengiyakan apapun yang beliau katakan. Sepertinya sisa obat kemarin masih ada, selalu seperti ini setiap kali aku habis meminum obat. Sialnya, pertemuan ini diadakan pagi hari sehingga efeknya masih terasa.

“Baik, terima kasih, Pak. Nanti akan saya usahakan,” ujarku menutup pertemuan hari itu. Rasanya seperti berbicara dalam kabut, suaraku terdengar samar, dan semua yang diucapkan terasa jauh. Setelahnya, aku segera pulang ke rumah, seluruh tubuhku rasanya sakit. Kubaringkan tubuhku di kasur kamarku lagi, yang kurasakan hanya kesedihan dan tangisan yang tak bisa kutahan lagi.

Tak lama, Mama masuk ke kamar dan bertanya apa yang terjadi. Aku menjelaskan semua perasaanku, bagaimana beratnya beban yang kutanggung, dan betapa sulitnya menghadapi hari-hari tanpa semangat. Mama berusaha menenangkanku, tetapi sulit untuk menghentikan air yang terus keluar dari mataku. Aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak ada ujungnya, dan walau dia mencoba menghibur, rasa sakit itu tetap saja menggerogoti hatiku.

Malam harinya, Mama membawakan makanan ke kamarku—sepiring nasi dengan ayam goreng dan sayur, makanan yang biasanya selalu menarik dan menggugah selera makanku kali ini. Namun, saat aroma makanan itu menusuk hidungku, semuanya terasa hampa. “Ayo makan dulu, nanti diminum lagi obatnya, terus tidur,” ujar Mama dengan lembut, suaranya penuh harapan.

Aku hanya mengangguk lemah, mencoba mengangkat sendok, tetapi setiap suapan terasa seperti usaha yang sia-sia. Beberapa hari selanjutnya kujalani dengan pola yang sama. Tubuhku yang sakit setiap bangun tidur, isi kepala yang penuh dan seperti berusaha membunuhku, serta aktivitas yang membosankan. Hari-hari terasa sama, dan aku lelah hidup seperti ini terus.

Lihat selengkapnya