Setelah Eros pergi untuk studi ke luar negeri, hari-hariku terasa berbeda. Kafe kecil di sudut jalan yang biasa kami kunjungi kini seolah kehilangan semangatnya. Aroma kopi yang semula menyegarkan kini terasa hampa, dan meja di dekat jendela, tempat kami sering duduk sambil berbagi cerita dan tawa, kini menjadi saksi kesunyian yang menggelayut di hatiku. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang ikut pergi bersamanya—sebuah kekosongan yang sulit diisi.
Setiap kali aku melangkah ke kafe itu, bayang-bayang Eros muncul dalam pikiranku. Dia selalu memesan cappuccino dengan taburan cokelat di atasnya, sementara aku lebih suka latte dengan sedikit ekstra susu. Kami akan menghabiskan waktu berjam-jam di sana, berbagi impian, merencanakan masa depan, dan tertawa tentang hal-hal konyol. Kini, tempat itu hanya menyisakan kenangan indah yang semakin menggoreskan rasa sakit di hatiku.
Suatu sore, saat aku duduk sendiri di kafe, aku merenungkan semua kenangan yang kami buat. “Dia pergi ke Jerman,” gumamku pelan, seolah mengucapkan mantra agar bisa menerima kenyataan. “Apakah aku sudah siap melepaskannya?” Pertanyaan itu terus berputar di benakku, dan seiring waktu berlalu, aku merasa kesempatan untuk memperbaiki semuanya telah lenyap, seperti Caerus yang terbang menjauh. Momen-momen itu tak akan kembali lagi.
Namun, meskipun perasaan sedih itu menyelimuti, aku berusaha untuk tidak terpuruk dalam kesedihan. Aku mencoba menjaga diriku tetap produktif dan mencari cara untuk mengalihkan perhatian. Salah satu hal yang selalu ingin kulakukan adalah kembali terlibat di sekolah yang didirikan Eros. Sekolah yang dibangun untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak yang kurang beruntung. Aku teringat akan visi dan misi Eros—betapa dia selalu bersemangat untuk memberikan yang terbaik bagi mereka.
Hari pertama aku kembali ke sekolah terasa mendebarkan. Saat aku melangkah masuk, suara riuh anak-anak yang sudah duduk rapi menyambutku. Mereka tampak ceria dan penuh semangat, dan melihat mereka membuatku tersenyum. Aku menyapa Nabil dan Ivanka “Selamat datang kembali! Kami seneng banget liat kamu di sini lagi.” Ujar Ivanka.
“Aku juga seneng bisa kembali. Aku ingin bantu sebaik mungkin,” jawabku dengan penuh semangat. Rasa rindu pada Eros sedikit terobati saat melihat bagaimana komunitas ini masih berdiri kokoh meski tanpa kehadirannya.