(Bukan) Monster Jahat

Lovenim
Chapter #2

Aku yang Gila

Tengah malam itu, sepi menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam yang terdengar jelas. Tiba-tiba, aku terbangun dengan napas terengah-engah, jantungku berdegup kencang seakan ingin melompat keluar dari dada. Suasana gelap pekat membuat segala sesuatu terasa lebih menyeramkan. Mungkin itu hanya imajinasiku, tapi ketakutan menghantui pikiranku, membawaku pada berbagai pikiran negatif yang tak kunjung berhenti.

Aku teringat mantra yang selama ini menjadi penangkal rasa takutku, "jangan berpikiran buruk, jangan berpikiran buruk." Kata-kata itu terucap berulang kali, seolah menjadi pelindung dari bayangan-bayangan menakutkan yang berusaha merangsek masuk ke dalam pikiranku. Tapi, malam itu, mantra itu terasa lemah, tak cukup kuat untuk menghalau semua ketakutan yang merayap di setiap sudut pikiranku.

Beberapa minggu terakhir, OCDku kembali menyerang dengan lebih intens. Pikiran-pikiran obsesif terus menghantuiku, menciptakan siklus kecemasan yang sulit diputus. Aku merasa terjebak dalam labirin pikiran yang tak berujung. Setiap kali aku berusaha melawan, seakan semakin dalam aku terjerumus. Dalam keheningan malam itu, aku merasakan seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menjatuhkanku.

Aku berusaha mengalihkan perhatian, namun bayangan-bayangan mengerikan itu tetap muncul. Suara-suara di luar, seperti suara angin berdesir atau dedaunan bergoyang, seakan menjadi bagian dari ketakutanku. Rasanya, semua ini tak hanya sekadar ketakutan biasa, tetapi sebuah pertarungan batin yang tak pernah usai. Aku ingin hidup seperti orang lain, aku ingin dimengerti dan dicintai. Tapi kenapa justru semua orang meninggalkanku? Aku takut di sini sendirian, dalam kegelapan.

Memikirkan semua yang terjadi, aku mulai menyadari bahwa OCDku bukan hanya soal pikiran, tetapi juga bagaimana aku meresponsnya. Selama bertahun-tahun, aku berjuang melawan rasa cemas yang tak berkesudahan. Setiap ritual yang aku lakukan, seperti mengecek kunci pintu berkali-kali atau memastikan kompor mati, lalu mengucapkan satu kalimat hingga puluhan bahkan ratusan kali, semua itu hanya memperparah keadaan. Ketika satu pikiran datang, aku merasa terpaksa melakukan serangkaian tindakan untuk menetralkannya.

Lihat selengkapnya