‘’Kau harus meliput ini,’’ Mas Hendri, pemimpin redaksi menyodorkan selembar pamflet ke arahnya.
Kartika membacanya. Sebuah event kirab pusaka, yang akan diadakan oleh sebuah Sanggar Lemah Subur yang berada di sebuah Desa Wolu di ujung kota S. Jaraknya sekitar seratusan kilometer kantornya ini.
‘’Tak ada wartawan lain Mas?’’ Kartika menawar, sebagai tanda kurang suka dengan event tersebut.
‘’Mengapa? Tidak suka?’’Mas Hendri menatapnya.
‘’Bukan begitu...,’’Kartika garuk-garuk kepalanya, mencoba mencari alasan yang tepat. Tapi belum ketemu-ketemu.
Pusaka, atau pusoko, itu pasti berhubungan dengan benda-benda kuno. Benda-benda mistis yang tidak bisa dinalar. Selalu berhubungan dengan hal-hal di luar logika.
Sebagai generasi muda yang kekinian, Kartika merasa berjalan mundur bila harus meliput tentang pusaka dan tetek bengeknya.
Apa sih menariknya pusaka? Kartika geleng-geleng kepala.
‘’Mengapa Mas Hendri mau mengangkat tentang pusaka? Bukankah pembaca tabloid kita adalah anak-anak muda kekinian, anak-anak muda yang berpikiran maju? Apa nanti tidak takut didemo? Tidak takut dianggap tabloid horor, tabloid ketinggalan jaman hanya karena mengangkat tema pusaka? Tabloid klenik, mistis?’’ Kartika nyerocos.
Mas Hendri asyik mengetik di komputernya tanpa menoleh ke arahnya, ‘’Tidak’’.
Kartika membelalak. Pasti isi otak Pemred-nya ini sudah error kali ya. Selama ini, Mas Hendri terkenal sebagai pribadi yang berpikiran maju, smart, elegan, tidak percaya dengan hal-hal mistis, klenik, dan sebangsanya. Siang ini tiba-tiba menjelma sebagai ‘’orang lain’’. Kartika gagal paham. Benar-benar gagal paham!
‘’Pertanyaan selanjutnya hanya satu. Bersedia atau tidak?’’ Mas Hendri masih tetap mengetik, tak menoleh.
‘’Kalau tidak?’’ Kartika menawar.