Bukan Orang Ketiga

Nanik Hastuti
Chapter #2

#2 Pertemuan

Rumah itu berbentuk joglo limasan dengan halaman yang cukup luas. Terbukti, mampu memuat dua panggung pertunjukan. Satu panggung untuk wayang kulit, satu panggung paseban. Sisi kanannya ada seperangkat lesung yang masih menyisakan cukup area untuk para penonton. Jalan masuk menuju pintu rumahnya cukup lebar. Rumah ini berpagar tembok setinggi satu meter lebih sedikit, dengan tiga akses jalan keluar.

 Sudah banyak aktifitas. Orang-orang sibuk menata panggung, mengatur ini dan itu. Mendirikan tenda dari kain putih, dan lain-lain. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak ada yang menghiraukan kedatangan Kartika dan Windarto. Keduanya terus melangkah masuk di halaman. Lalu terdampar duduk di pinggir panggung wayang kulit, yang masih didekorasi sedemikian rupa.

 Rasa haus menghantui kerongkongan Kartika. Sementara bekal air minum di botol hijau miliknya, tertinggal di mobil yang terparkir agak jauh. Ia malas untuk mengambilnya. Windarto, sang fotografer, manyun memperhatikan orang-orang yang lalu lalang.

‘’Aku haus,’’senggol Kartika.

‘’Minum dong''

‘’Tertinggal di mobil’’

 ‘’Itu ada teh...,’’ Wintarto menunjuk dengan gerakan matanya.

Kartika menoleh ke belakang. Hanya berjarak beberapa centimeter dari tempat duduknya, ada lima gelas teh siap minum. Gelas-gelas itu seolah-olah mengejek dirinya yang tengah kehausan.

‘’Tapi kita belum disuguhi minum,’’ Kartika merengek.

‘’Ambil saja satu, daripada kamu mati kehausan, hahahaha...’’.

Bapak-bapak yang tengah merapikan wayang kulit, menatap ke arah keduanya.

‘’Ambil saja Mbak, nggak apa-apa. Kasihan kan kehausan...?’’.

Kartika tertawa senang. Wajahnya berseri-seri. Tangan kanannya bersegera mengambil satu gelas, diminumnya cepat-cepat. Ada perasaan lega terpancar di matanya. Hausnya hilang. Tapi rasa laparnya menyerang. Ada irisan jadah dan wajik di piring sebelah teh. Warnanya putih dan merah gula jawa. Pasti enak sekali digigit siang-siang begini, sambil minum teh. Hmmm.

‘’Jadah dan wajiknya juga boleh diicipi kok, mari, silakan,’’ bapak-bapak berkaos hitam lusuh itu menawarinya lagi. Hmm, biarpun kaosnya lusuh tapi hatinya bening, puji Kartika dalam hati. Buktinya, dia disuruh minum dan makan wajik. Hehehehe, itu pertanda hatinya baik lho.

Lihat saja mata Kartika. Ia mengerjab-ngerjab bahagia bukan kepalang. Apa yang ia pikirkan di kepalanya, terwujud satu persatu.

Ia mengambil wajik satu iris. Hmmm enak sekali. Rasa ketannya lembut, lumer bercampur dengan gula jawa merah yang sempurna. Berada di dalam mulutnya, sensasi manis sedikit asin, terasa betul. Ia kunyah dan telan, begitu terus hingga satu potong wajik habis. Yang tersisa ujung jarinya sedikit lengket.

‘’Kamu gak minum?’’ tawar Kartika pada Win.

‘’Nanti kalau kita minum semua, bapak-bapak yang bekerja minum apa dong,’’ jawab Win.

Lihat selengkapnya