Hari pertama dibuka dengan mengarak gunungan hasil bumi. Sama seperti karnaval atau arak-arakan festival budaya di tempat lain. Semua peserta karnaval memakai baju kejawen lengkap. Ada sajian kesenian tempo dulu, seperti jaran kepang, reyog, musik dari kentongan, gejog lesung, dan lain-lain.
Semua jenis kesenian itu, kini keberadaannya hampir punah di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak muda sudah tidak tertarik lagi melestarikannya. Lihat itu, pemainnya semua orangtua lansia yang mempunyai semangat berlipat-lipat. Wajahnya berseri-seri, meski sinar mentari garang membakar tubuhnya di sepanjang jalan.
Warga sekitar menyemut di sisi kanan kiri jalan. Tidak hanya anak-anak yang terlihat bergembira karena ada hiburan gratis, para orangtuapun tidak kalah senangnya, meski harus menggendong buah hatinya.
Kartika ikut berjalan kaki, kadang berlari mendahului untuk mengambil foto. Meski lelah, tidak ia rasakan.
‘’Semua serba masa lalu...,’’ tanya Kartika di sela-sela keramaian, saat berada di halaman sanggar, kepada Rendra yang tengah asyik menyaksikan berbagai atraksi kesenian.
‘’Kuno itu sesuatu...,’’ jawabnya ringan, sambil menatap Kartika sekilas.
‘’Maksudnya?’’.
‘’Kuno itu masa lalu, banyak menyimpan sejarah, banyak kenangan, harus dilestarikan. Agar anak cucu kita kelak bangga, betapa adi luhungnya kebudayaan nenek moyang kita. Generasi yang bangga dengan nenek moyangnya, semoga tidak menjadi generasi yang mudah rapuh dan kehilangan jati diri. Generasi yang penuh rasa percaya diri’’.
Kartika mengangguk-angguk. Merekam semua yang keluar dari pikiran Rendra ke dalam benaknya. Semakin menambah rasa keterpesonaannya bersinar-sinar.
Rendra yang usianya belum genap 25 tahun, sudah mempunyai pikiran jangka panjang yang hebat. Dia tidak egois. Dia memikirkan keberlangsungan budaya generasi masa depan tanpa harus melupakan generasi masa lalu, nenek moyang, leluhur. Pemikiran yang aduhai. Kartika memberi aplaus dalam hati.