Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #1

Pengintaian Biasa

Tidak ada yang istimewa dengan taman itu.

Taman sekolah yang hanya ada satu pohon akasia, dengan bangku baja melingkar di bawahnya. Rerumputan pun telah bersela tanah akibat sering terinjak warga sekolah. Pagar semak yang membatasi taman dengan lapangan basket juga tidak lagi sama tingginya karena sering dilompati anak-anak cowok warga sekolah ini. Apalagi sore hari seperti sekarang, sekolah telah sepi dan taman itu malah tampak lebih suram.

Ya, tidak ada yang istimewa dengan taman sekolah itu selain sepasang muda-mudi yang sedang duduk di bangku baja bawah pohon. Duduk berdampingan. Sementara aku, mengintip di seberang lapangan, di sudut luar ruang perpustakaan. Mengintip sambil gigit tali tasku karena cemburu.

Ya! Cemburu!

Cowok di sana itu bernama Rio Satria. Bintang basket yang selalu terlihat kalem dan bersahaja—mungkin karena cenderung pendiam dia terkesan bersahaja. Seperti biasa dia selalu memakai hoodie abu-abu untuk menutupi seragam putih-abunya. Namun berbeda dari biasanya, di bawah pohon akasia itu Rio tampak berbicara panjang lebar dengan cewek di sampingnya. Cewek pendek, gembrot—Ya, maaf, maaf, aku jahat sudah berkata seperti itu! Tapi …, ah, ya …, maaf. Aku salah …. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Maaf.

Nama cewek itu, Siti Kania, biasa dipanggil Nia, tapi aku memanggilnya Siti. Berkerudung dan berkacamata. Tubuhnya mungil dan berisi. Mungkin terkesan berisi karena dia selalu memakai seragam yang agak longgar dan setiap pulang sekolah dia selalu melapisi seragamnya dengan kemeja jeans biru muda—itu pengamatan objektifku, ya! Seperti Rio, dia juga anak yang pendiam. Tapi tetap saja, aku tidak mengerti. Apa yang dilihat Rio sampai dia bisa dekat dengan cewek itu? Perlu tahu juga, mereka beda kelas, jadi peluang apa yang membuat mereka bisa dekat?

Kulihat Rio masih berbicara dan Siti mendengarkan. Gelitik rasa penasaran soal apa yang mereka bicarakan membuat nyaliku membesar untuk mendekat. Kulepas tali tasku dari mulut dan mulai bergerak. Dari sudut luar ujung perpustakaan, aku beralih ke bangunan samping tempat lab bahasa berada. Aku susuri teras lab bahasa itu hingga berganti menjadi teras lab IPA. Di teras lab IPA terdapat tembok beton setinggi satu meter yang membatasi teras dengan undakan tembok yang biasa digunakan warga sekolah untuk duduk menonton pertandingan basket. Dari sana, jarakku ke taman sekolah sudah cukup dekat. Aku merunduk dan mengendap-endap sambil berlindung di balik tembok pembatas itu supaya tidak terlihat.

“Seperti itu kira-kira, hasil observasiku.”

Aku dengar suara Rio. Tidak terlalu keras, tapi cukup jelas terdengar.

“Masih kurang,” respon Siti yang terdengar olehku seperti gumaman. “Sepertinya data yang kita perlukan masih kurang.”

Eh, apa yang mereka bicarakan? bisik batinku. Meski mempertanyakan, tapi ada perasaan lega dalam batinku kalau apa yang mereka bicarakan jauh dari kesan romantis. Bukan konten pembicaraan orang yang lagi pacaran.

“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Rio.

Aku beranikan diri mengangkat kepala, untuk mengintip melewati tembok pembatas teras itu. Aku sempat melihat Siti menggelengkan kepala untuk merespon pertanyaan Rio.

“Entah. Aku tidak tahu.”

“Kalau begitu sekarang saatnya kerja rodi,” ujar Rio sambil berdiri. Tidak hanya berdiri, dia juga mengulurkan tangan kanannya kepada Siti.

Kulihat Siti menatap tangan Rio tanpa ekspresi.

“Ya, saatnya merangsang Brain Derived Neurotrophic Factor,” jawab Siti yang aku tidak tahu apa maksudnya, dan aku tidak sempat memikirkannya karena perhatianku seketika tersita oleh tangan kiri Siti yang meraih tangan Rio dan ikut berdiri.

Mereka berjalan keluar taman sambil bergandengan tangan. Dan aku melotot sambil menggigit putus tali tasku. Hiaaah!

Mereka pacaran! Jelas mereka pacaraaaaaan! Mau argumen sanggahan apa lagi, coba?!

Ketika mereka telah jauh, aku memutar badan dan terduduk di lantai teras lab sambil bersandar ke tembok pembatas. Aku menunduk, meredam rasa sakit di dalam dadaku—seolah ada perasaan terhimpit. Aku peluk lututku, menjepit tasku antara dada dan paha. Aku ingin menangis.

Omong-omong, namaku Arianna, panggil saja aku Anna. Untuk membayangkan aku, jelas aku berbeda dengan Siti. Mungkin kamu pikir aku angkuh, tapi dari standar yang aku tahu, aku jelas punya spesifikasi yang lebih tinggi dibandingkan Siti. Setidaknya aku punya tinggi badan 171 cm—jauh lebih tinggi dari Siti. Postur pun aku cukup percaya diri untuk menganggapnya proporsional. Wajahku pun belum pernah ada yang berkomentar jelek. Panjang rambutku seketiak dan sering aku ikat ekor kuda, juga kali ini aku sedikit mewarnainya dengan warna ungu. Ya, aku cukup modis untuk ukuran remaja seusiaku.

Lalu …, apa Rio tidak pernah tertarik sama aku?

Mendengar gumam batinku aku mendengkus. Dengkus napas yang lesu dan … sedih.

Tentu saja! Bagaimana bisa tertarik? Kamu tidak pernah kenalan sama dia, `kan?

Lihat selengkapnya