“Mungkin ada baiknya, Rio,” gumam Siti. Masih menunduk. Masih menggamit lengan hoodie Rio.
Mendadak aku merasa tidak mengerti.
“Kamu yakin?” tanggap Rio, melirik Siti.
“Ya. Kita mungkin perlu insight lain. Sepertinya Arianna cukup kritis.”
Eh?
Aku tercenung. Sepertinya aku keliru. Dari apa yang Siti katakan sepertinya dia bersedia memenuhi permintaanku.
“Kamu benar-benar tidak keberatan, Ann?” Rio berpaling menatapku.
“Eh? Kalian mau ke rumahku?” ucapku spontan. Kaget.
Rio tampak mengangkat alisnya tinggi-tinggi, heran bukan kepalang. “Loh? Bukannya kamu yang mengundang kami?”
“I-iya! Hahahaha! Aku tau! Aku tau!”
Rio mengerenyitkan keningnya sambil menatapku penuh selidik. “Beneran? Kami bisa sangat merepotkan, loh,” ujarnya, setengah bercanda.
Direpotkan kamu setiap hari juga aku tidak keberatan, Rio ….
“Enggak! Gak sama sekali! A-aku memang penasaran. Cuma gak nyangka aja …. Kirain perlu memaksa.”
Kulihat Siti melepas gamitan tangannya dari lengan Rio. Tampaknya dia merasa lega, seolah permintaanku soal penjelasan bagaimana mereka menemukan Shota adalah juga keinginan dia.
Kenapa, ya? Aneh ….
“Ayo,” ajakku sambil beralih arah memimpin langkah. Tidak jauh. Hanya berselang satu rumah.
Tidak seperti rumah Pak Riyadi, rumahku tidak besar, namun karena berada di tikungan jalan, menjadi terkesan besar. Pintu pagar pun tidak otomatis seperti gerbang rumah Pak Riyadi, karenanya aku mesti menggeser pintu berbahan besi itu hingga tampak car port yang bersebelahan dengan barisan pot tanaman koleksi Mama—meski bukan Mama yang mengurus melainkan Mak Sari. Saat membuka pintu pagar pun aku langsung melihat Mak Sari sedang menyiram pot-pot tanaman itu.
“Wah, Neng Anna bawa teman rupanya,” kata Mak Sari. Perempuan yang menginjak lanjut usia itu mematikan keran air dan menghampiri kami. Beliau mengenakan gamis coklat dengan kerudung hitam. Kerudung hitam itu membuat mata beliau tampak berbinar lebih dari biasanya. Sepertinya kedatangan Rio dan Siti memberi beliau pengalaman baru. Ya, kalau diingat-ingat, aku tidak pernah membawa teman ke rumah.
Eh? Beneran, ya? Mereka berdua yang pertama kali ke rumahku. Kenapa, ya?
Ah, sebenarnya tidak perlu heran. Meski aku cukup pandai bergaul, tapi tidak pernah sampai akrab hingga bisa dikatakan sahabat. Dari sudut pandang tertentu, sepertinya bisa aku juga seorang penyendiri. Hanya saja, berbeda dengan Rio dan Siti, kasusku lebih tertuju pada lingkaran pergaulanku yang sungkan terhadapku.
“Permisi. Saya Rio dan ini Siti Kania,” kata Rio memperkenalkan dirinya dan Siti.
“Wah, namanya sama sama Emak. Emak juga namanya Siti. Siti Saripah,” tanggap Mak Sari lebih ramah dari biasanya.
Siti menanggapinya hanya dengan mengangguk hormat.
"Mak, bisa bikinkan kami kopi," kataku, memotong ramah tamah Mak Sari.