Bukan Pacaran Biasa

DMRamdhan
Chapter #4

Relasi Tak Terdefinisi

“Lagipula aku cuma menghindari diinterogasi bapak kamu kalau kamu pulang kemalaman,” jelas Rio sambil menjauhkan tangannya dari kepala Siti.

“Pengecut,” gerutu Siti, masih berupa gumaman.

“Dengan senang hati aku sandang atribut Pengecut itu jika tujuannya menghindari debat dengan bapak kamu,” ujar Rio dengan kalimat yang agak berlebihan. Sedikit membuatku terperangah, meski aku redam supaya tidak mengemuka di wajahku. Aku belum pernah melihat Rio bicara seperti itu di sekolah. Aku pernah menyebutnya pendiam, `kan?

Sifatnya jauh berbeda ketika di luar sekolah, ya? Atau hanya ketika berada dekat Siti saja? Seperti tadi … di bawah pohon taman sekolah ….

Sepertinya, di mata Rio, Siti cewek yang istimewa. Itu yang aku lihat sejauh ini. Bikin sesak saja.

“Terus?” ucapku sambil melepas sedekap tanganku dan meraih mug kopi. “Kamu berhasil temukan petshop itu, Rio?”

Yap! Cukup mudah. Hanya cari petshop terdekat dari tempat parkir itu. Aku tanya sambil tunjukkan Shota dan seorang pegawai di sana mengenalinya. Dia tidak tahu nama pemiliknya, tapi dari deskripsinya, match sama sosok Pak Riyadi. Dia juga menyebutkan komplek perumahan ini karena Pak Riyadi tanya soal dokter hewan dan pelatihan anjing yang dekat dengan perumahan ini. Thus, di sinilah kami.”

Melewati lingkar mug saat kuseruput kopi susu buatan Mak Sari, aku menatap Rio. Aku memang memperhatikan Rio dan bisa menangkap penjelasannya, tapi debar di dadaku seperti tidak bisa diam untuk membiarkan aku mengolah respon yang tepat dan cerdas dan bisa menarik perhatian Rio. Lebih-lebih, cakupan pandangan mataku, selain menangkap sosok Rio, juga menangkap sikap Siti yang berpaling ke arah Rio dan terpana seperti kagum. Agak aneh juga, mengingat dia tentu sudah tahu sejak Rio menjelaskan di bawah pohon taman sekolah. Ya, `kan?

Namun, di akhir penjelasan Rio, aku lihat Siti menunduk dan menunjukkan sorot mata yang sedih bercampur kesal. Sorot mata seperti orang yang merasa kalah.

Apa mereka semacam rival, gitu? Saingan yang saling memotivasi? Tapi saingan soal apa?

Aku simpan mug kopiku di atas meja dan kembali bersedekap untuk memberi efek dramatis dari sikapku, meski kedua tanganku bersilang di dada hanya sebentar karena aku perlu mengeluarkan ponselku.

“Baiklah. Sekarang aku mengerti, dan sekarang kasih aku nomor kontak kalian.”

“Eh?” ucap mereka berdua, bersamaan. Mereka juga menatapku heran.

“Kalian bukan kali ini saja melakukan ini, `kan? Aku ingin terlibat untuk selanjutnya,” jelasku sambil mengacungkan ponselku.

Aku katakan itu dengan intonasi datar dan dingin, seakan bersikap tidak peduli, tapi sebenarnya justru sebaliknya. Jantungku berdebar cukup kencang dan napasku sedikit tersendat. Aku sedang mempertaruhkan sesuatu di sini! Aku ingin lebih dekat dengan Rio dan ini adalah kesempatan! Meski efeknya aku juga mesti dekat dengan Siti.

Setidaknya kita bisa mengawasi mereka dari dekat, `kan? pikirku, ambil sisi positif.

“Terlibat? Selanjutnya?” Rio tampak heran. Kedua alisnya tampak terangkat.

“Aku tidak tahu detilnya, tapi kalian seperti punya misi masing-masing buat mengembangkan diri. Siti sendiri sepertinya sedang berusaha melampaui kekurangannya dalam berkomunikasi, ya `kan? Kalau Rio sepertinya sedang mengasah kemampuan deduksi.”

Aku lihat Rio dan Siti saling menatap. Ada kesan heran dari wajah mereka, tapi juga sekaligus senang.

"Kamu benar, Nia. Memang ada baiknya melibatkan Arianna. Enggak cuma kritis tapi juga peka," kata Rio sambil berpaling kepadaku dan tersenyum riang.

Jantungku hampir copot dibuatnya.

Dia tersenyum! Dia tersenyum kepadaku! Mimpikah ini?

Setengah mati aku pertahankan air mukaku. Aku tidak ingin isi hatiku terlihat.

"Sepertinya ada hubungannya dengan klub teater," gumam Siti. Matanya tampak menerawang sebagaimana orang berpikir mendalam.

"Teater?" Rio berpaling ke arah Siti.

"Iya. Sudah dua kali aku lihat penampilannya di panggung aula. Waktu festival open house sekolah sama porseni akhir semester kemarin," jelas Siti. "Anna jadi pemeran utama dan aktingnya memang hebat."

"Waaah! Kenapa gak kasih tau aku?"

"Kamu lagi bertanding."

"Stop!" pekikku kencang.

Rio dan Siti terperanjat dan segera menatapku.

Lihat selengkapnya