Bantalku masih utuh, tapi aku masih berbaring di tempat tidur. Mungkin lama-lama aku gigit juga jika gejolak hatiku tidak mereda. Memang citra lengan Rio yang merangkul kepala Siti dan mencium ubun-ubunnya masih tercetak di dinding kenangan benakku. Untunglah seseorang segera mengetuk pintu kamar, mencegah bantalku terbantai keji. Terlambat sedikit saja, siapapun yang mengetuk pintu itu akan menemukan mulutku tengah mengunyah busa dakron.
"Ya?" ucapku sambil segera beranjak.
"Ann, Mama mana?"
Aku lihat kakakku, Ryan, membuka pintu.
"Eh? Tumben pulang," ujarku datar. Aku duduk di sisi tempat tidur.
"Iya. Ada perlu sama Mama. Apa belum pulang? Mak Sari juga gak ada."
Kakak laki-lakiku itu memang sudah tidak lagi tinggal di rumah; indekos di dekat kampusnya, Institut Teknologi Bojongkapuk. Jurusan Seni Rupa, katanya.
"Mungkin udah pulang, terus ngajak Mak Sari belanja." Aku berdiri dan menghampiri Kak Ryan.
Dia berambut gondrong dan terikat ke belakang. Tipikal anak seni rupa, katanya. Berkemeja flanel kotak-kotak merah dengan kancing seluruhnya terbuka memperlihatkan kaus putih berlogo band rock Metall.id.go. Mungkin bisa ditebak soal celananya; jeans robek-robek mirip kain lap.
"Kak, tolong sebentar. Coba usap-usap kepalaku," kataku setelah dekat. Mendadak ada ide hinggap di benakku; bereksperimen untuk menilik persepsi dari sudut pandang Siti.
"Dih najis!" serunya spontan sambil mundur selangkah. Ekspresi jijik bermotif canda.
Seketika aku cemberut.
“Dah lah! Pergi sana!” ujarku dingin sambil mengibas-ngibaskan tangan seperti mengusir seekor anjing. “Lagian, kenapa gak chat Mama aja?”
“Hehe, itu maksud aku sebenarnya,” Kak Ryan mendadak malu-malu kucing. “Mau minta tambahan dana buat beli ponsel baru. Punyaku rusak, jatuh di jalan.”
“Huh dasar!” dekusku sambil berjalan ke meja belajar, mengambil bingkisan dari Pak Riyadi dan mengacungkannya ke Kak Ryan. “Nih! Buat Kakak!”
“Apa itu?” tanya Kak Ryan sambil menghampiriku dan menerima bingkisan itu. Seketika matanya terbelalak melihat isinya.
“E-E-E—”
“Ih jijik! Bukan E’ek!”
“I-iya, aku tau! E-phone! Tapi kamu dapet dari mana? Beli?”
“Pemberian Pak Riyadi.”
“Hah? Dalam rangka apa?”
“Aku sama temen-temen nemu anjingnya yang hilang.”
“Ooh. Temen-temen kamu juga dapet?”
“Dapet lah!”
“Gini deh. Aku pake ponsel lama kamu. Kamu yang E-phone ini. Gimana?”
“Aku lebih suka pake Droid. Itu buat Kakak aja.”
“Yakin nih?”
“Sudah! Bawa sana!”
“Waah! Makasih ya! Makasih banget!” Kak Ryan tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya, merangkul kepalaku dan mencium kening atasku, cukup dekat dengan ubun-ubun.
Aku seketika tercengang! Tentu saja!
“Kamu memang yang terbaik! Makasih, Ann—Hey, kenapa kamu tersipu malu gitu? Najis!”
“SITU YANG NAJIS!” pekik aku sambil menendang Kak Ryan keluar kamar lalu menutup pintu.