Sekolah masih sepi dan memang sengaja aku berangkat lebih pagi. Kemudian aku berlama-lama di koridor depan gedung sekolah sambil melihat papan pengumuman. Niatku sederhana. Menunggu Rio untuk memberikan bingkisan kue kacang buatan Mak Sari yang kemarin tak sempat mereka makan.
Perlu kalian tahu, di papan pengumuman itu terdapat poster promosi klub ekskul teater, berdampingan dengan poster klub basket. Di poster klub basket itu terpampang sosok pemain basket handal yang sedang melakukan jump lay-up dengan ujung tangan kanan terulur nyaris menyentuh ring basket sambil mempersembahkan bola ke dalamnya, memastikan skor untuk tim sekolah kami. Tapi dia bukan Rio.
“Cieee! Pagi-pagi udah pelototin Mas Rangga!”
Seseorang menghampiriku. Namanya Sandra. Teman sekelas sekaligus teman satu klub. Sosok populer di kelas dengan paras cantik, supel dan periang. Juga Ketua Kelas yang handal meski secara akademik ada di bawah aku dan aku pun bukan anak yang terlalu cerdas.
“Rangga? Siapa itu?” tanggapku dingin sambil menatapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Sandra cemberut, lalu tangannya menunjuk ke poster klub basket. Ya, yang terpampang di poster klub basket itu namanya Rangga, kakak kelas yang memang tampan dan populer di sekolah. Tapi bagiku, kakak kelas itu biasa saja. Selain Rio, semua cowok kayaknya biasa saja. Tapi aku bisa mengerti sudut pandang Sandra yang melihatku menghadap papan pengumuman itu, yang memang ada poster klub basket itu, tapi Sandra lupa akan poster klubnya sendiri di mana ada aku di sana.
Aku menunduk dan jemari tanganku menyentuh kening. Aku terkekeh seperti tokoh penjahat yang keluar dari anime Shonen.
“Hahaha, untuk apa mengagumi sosok lain sementara ada yang lebih menakjubkan dengan pesona yang sanggup meruntuhkan surga!” ucapku lebay sambil merentangkan tangan ke poster klub teater. Poster klub teater yang memang terpampang tampang aku berdandan seperti pangeran yang sedang memegangi tengkorak manusia. Di bawahnya tertulis judul Hamlet : Re-Define. Ya, aku berperan menjadi tokoh ciptaan William Shakespeare, dengan alur cerita yang dibuat berbeda—alih-alih dengan ending mati, Hamlet dalam tampilan ini menjadi penguasa tunggal Denmark dengan bantuan cheat-code dari hantu sang ayah. Poster yang sebenarnya sudah kadaluwarsa karena sudah ditampilkan di akhir semester lalu.
“Aaaah, Mas Hamlet! I love you!” Sandra menerjang dan merangkulku erat.
“Eh-eh, hey! Hentikan!” Aku dorong pipi Sandra menjauh hingga lepas rangkulannya.
“Fix! Aku bakal paksa Mba Tari! Tampilan nanti Sleeping Beauty, kamu jadi pangeran, aku jadi putri. Dicium kamu pasti … suka!” Sandra memegangi kedua pipinya sambil menjilati bibir seolah baru saja makan coklat.
“Dih, najis!” dengkusku.
Sandra malah tertawa.
“Dah, ah! Yuk ke kelas,” ajaknya.
“Duluan deh. Batre narsisku belum penuh,” tolakku sambil mengibaskan tangan mengusirnya.
Sandra tertawa lagi sambil berlalu.
Aku kembali menatap papan pengumuman. Awalnya memang melihat tatapanku yang dingin di poster klub teater itu, tapi kemudian bergeser melirik poster klub basket. Memang yang mendominasi di sana adalah Kak Rangga, tapi di latar belakang, di antara apitan dua contact person klub basket, ada sosok yang sedang memunggungi, sedang berlari kembali ke posisi bertahan setelah Kak Rangga mencetak skor. Ya, itu Rio. Aku mengenalinya.
Lalu, sudut mataku menangkap bayang seseorang menghampiri. Aku meliriknya dan melihat Siti Kania mendekat.