“Yuk, ekskul!” ajak Sandra setelah bel pulang berbunyi.
“Duluan deh! Aku ada janji dulu,” tanggapku sambil menyelempangkan tas ke bahu.
“Janji? Sama siapa?” Sandra tampak heran.
“Ada deh. Kemungkinan kamu juga bakal tahu.” Aku langsung berlari keluar kelas tanpa memperhatikan lagi Sandra yang kemungkinan memasang tampang semakin heran.
Aku lihat Siti sudah menunggu di depan kelasnya. Saat dia melihatku dia tersenyum dan mengangkat sebelah tangan, setengah melambai.
Well, well, what do you know? Transisi alur yang tidak terduga.
Ya, aku tidak melihat nuansa marah dari Siti. Entah gosip itu belum sampai ke benaknya atau memang dia kebal terhadap gosip. Bagaimanapun dia tampak biasa saja. Dia menghampiri dan aku langsung mengajaknya ke aula sekolah.
Gedung aula sekolah berseberangan dengan gedung kelas, terpisah oleh lapangan basket yang merangkap lapangan upacara bendera. Untuk mencapai aula, kami menyusuri teras ruang guru dan perpustakaan dengan sisi kiri memperlihatkan anak-anak klub basket sedang pemanasan. Ada Rio di sana, di antara anak-anak basket yang sedang berlari mengelilingi lapangan. Meski tidak ada niat sama sekali, mataku malah mengikuti tiap ayunan langkah larinya seperti tidak peduli kalau di sampingku ada Siti Kania yang allegedly dekat dengan Rio. Karena mataku mengikuti lari Rio, maka aku pun melihat bagaimana Rio mendadak terjatuh akibat terjegal seorang rekannya.
Atau dijegal?
Tidak hanya itu, aku lihat ada seseorang yang aku kenali sebagai kakak kelas seperti mengincar untuk menginjak kaki Rio, tapi Rio berhasil menghindar dan segera bangkit.
“Sori,” ujar rekan Rio yang menjegal tadi.
I-itu sengaja! Mereka bekerja sama untuk mencelakakan Rio! Tapi kenapa?
Aku lirik Siti dan sepertinya dia juga memperhatikan kejadian penjegalan itu. Namun dia mendadak tercekat saat sadar aku meliriknya. Dia langsung menunduk seolah tidak rela aku menemukan dirinya memperhatikan Rio. Dia menunduk makin dalam sambil memperbaiki letak kacamatanya dan terus berjalan di sampingku.
Aku terdiam. Pikiranku seperti kebas, tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.
Sampai di aula, kami dekati panggung yang terdapat di ujung aula. Aula ini cukup luas, memuat dua lapangan bulu tangkis dengan tiga undakan tribun lipat untuk penonton di dua sisi aula. Di dekat panggung telah berkumpul teman-teman klubku; ada yang di atas panggung, ada juga yang di bawah panggung. Yang di bawah panggung adalah kelompok yang bekerja di balik layar. Mereka tampak duduk bersila, melingkar dan sepertinya membahas properti panggung. Tujuanku sendiri adalah teman-teman yang di atas panggung, sesama pemain drama. Di sana juga ada Kak Tari yang menjadi presiden klub kami.
Aku hampiri Kak Tari untuk memperkenalkan Siti dan meminta izinnya kalau Siti berniat untuk melihat-lihat kegiatan klub.
“Tentu boleh! Gabung juga boleh!” seru Kak Tari riang sambil menyalami tangan Siti.
“Sa-saya hanya mau lihat-lihat saja, Kak. Untuk riset,” jawab Siti sungkan.
“Riset? Ah, anak pintar emang cara pikirnya berbeda,” sahut Kak Tari sambil menepuk-nepuk pundak Siti.
Lalu Kak Tari berpaling ke anggota klub dan berkata, “Yok, kita awali dengan latihan olah vokal!”
Sempat aku lihat Siti menjauh dan duduk di tepi belakang panggung sambil mengeluarkan buku catatan.
Eh, bener buat riset, ya? Nanti aku mesti tanya—
Belum sempat benakku menyelesaikan kata hatiku, lenganku ditarik Sandra.
“Kenapa kamu bisa dekat dengan Siti? Bukannya dia rival kamu?” bisik Sandra sambil menarikku menjauh dari Siti, takut terdengar.