“Jadi?” Kak Tari bertanya pada Siti. Dia menggiring Siti kembali ke aula dan berucap satu kata bertandatanya itu dengan nada pelan sambil mendekatkan kepalanya ke telinga Siti, sekadar memancing-mancing nuansa cerita romantis antara Siti dan Rio.
Siti menunduk. Tidak menjawab.
Aku dan Sandra yang mengikuti mereka tentu mendengar pertanyaan Kak Tari itu. Tapi aku tidak melihat ekspresi Siti saat ditanya seperti itu. Aku tidak tahu dengan teman-teman klub yang lain, entah mereka ikut menyimak atau tidak; perhatianku terpusat pada percakapan Kak Tari dan Siti.
Dilihat dari belakang Kak Tari dan Siti seperti kakak beradik. Perawakan Kak Tari memang mirip dengan Siti, hanya saja Kak Tari tidak berkerudung dan tidak berkacamata—rambutnya yang dipotong pendek membuat raut wajahnya tampak tegas mirip laki-laki, dan memang pantas saat dia berperan menjadi Raja Claudius di pentas Hamlet yang lalu. Sepertinya selaras dengan aku dan Sandra—maksudku, kalau aku melihat Kak Tari dan Siti seperti adik-kakak, maka cukup adil kalau aku tawarkan deskripsi kalau aku dan Sandra juga sama, hanya saja, Sandra lebih kurus dan rambutnya lebih lurus, halus dan panjang.
“Jadi, jadi, kamu sama Rio pacaran, ya?” sambung Kak Tari, menegaskan pertanyaannya.
Siti menggeleng cepat, sedikit gelagapan. “A-aku, eh, anu, saya, itu … dilarang pacaran.”
“Hah? Lalu hubungan kamu sama Rio apa?” tanya Kak Tari lagi, kali ini heran.
Lalu Kak Tari melirik ke belakang dengan binar jahil di matanya, tertuju padaku seperti memancing reaksiku. Dan kemudian dia berkata, “Jangan-jangan kalian udah nikah?”
Aku menanggapi dengan memicingkan mata, berusaha mengeluarkan cahaya laser pemusnah dari mataku. Sayangnya thermofuse rekator nuklir di antara dua mataku korslet karena tenggelam oleh sinus, jadi Kak Tari harus bersyukur bisa selamat dari tatapan mematikanku.
“Mereka partner,” kataku tiba-tiba.
“Partner?” Kali ini Sandra yang menanggapi.
“Kemarin Siti dan Rio berhasil melacak pemilik anak anjing yang tersesat. Ternyata punya tetanggaku,” jelasku.
“Benar begitu?” Kak Tari bertanya pada Siti yang dijawab Siti hanya dengan sekadar anggukan.
“Jadi kalian semacam pasangan detektif gitu?” tanya Sandra.
“Sekarang trio, aku udah gabung kemarin,” tandasku cepat-cepat.
“Hoho, gitu toh,” ujar Sandra, melirikku sambil menutup mulutnya dengan tangan, seolah mencoba bilang kalau dia tahu aku punya motif lain. Sikutnya senggol-senggol lenganku.
Lagi-lagi aku gagal memancarkan laser pemusnahku, dan Sandra bisa selamat.
“Bener begitu, Sit?” tanya Kak Tari. “Gimana ceritanya tuh?”
“Boleh aku yang cerita, Sit,” usulku.
Siti melirikku dan kemudian mengangguk. “Boleh.”
“Oke. Latihan kita lanjut di aula dengan storytelling oleh Anna,” sambung Kak Tari, kembali mengklaim tampuk pimpinan penguasa klub teater.