Kak Tari telah menutup kegiatan klub di jam lima sore. Kami pun bubar.
“Sit, eh, Nia,” kata Sandra sambil menghampiri Nia, sementara Nia sendiri sedang berjalan di sampingku menuju pintu aula. “Rumah kamu di mana?”
“Eh, itu, Griya Rancanila,” jawab Siti Kania.
“Lumyan jauh, ya?” sambung Sandra.
“Tapi, umm, cuma sekali pakai bis,” respon Nia.
Sendiri atau diantar Rio? Aku ingin mengatakan itu, tapi sepertinya aku sendiri belum siap dengan jawabannya. Juga belum siap saat sosok yang hadir di benakku itu menjelma di balik pintu aula.
“Thanks, ya, tadi. Waktu latih tanding,” kata Rio langsung tertuju ke Nia.
Nia mengibaskan sebelah tangannya. “Terima kasih sama Anna saja. Kalau Anna tidak segera mengajak …, ummm, itu enggak akan terjadi.” Di akhir kalimatnya aku lihat wajah Nia memerah. Sepertinya teringat bagaimana dia meneriakkan nama Rio di pinggir lapangan dan citra yang terbayang di benaknya sepertinya membuat dia malu.
“Oh, kalau gitu terima kasih juga, Ann,” kata Rio sambil berpaling kepadaku dan menunduk hormat.
Aku meniru Nia mengibaskan sebelah tangan. “Abaikan. Tapi beres, `kan? Maksudku, apa-apan juga para senior itu?”
Rio memicingkan mata ke arahku. “Kamu enggak sadar atau pura-pura enggak sadar?”
Mendadak aku tercengang, dan perasaan kaget itu mengemuka pada mataku yang berkedip cepat. Bukan karena konten pertanyaan Rio, tapi sikap Rio yang terkesan akrab.
“Sa-sadar apa?” responku.
“Dih, nggak sadar,” dengkus Sandra yang diikuti lagak akting seorang narator drama di panggung. “Sang primadona datangi seorang pemuda waktu istrirahat di kelasnya, memberi tanda cinta, lalu gosip pun tersebar hingga meracuni para kakak dengan cemburu.”
“Apaan sih! Itu cuma titipan dari Pak Riyadi—”
“Bukannya itu da—” Rio hendak berkata, namun segera aku potong.
“Dah! Udah!” seruku cepat sambil mendorong bahu kiri Rio, membuatnya membalikkan badan dan langsung mendorong punggungnya. “Kalau diingat lagi malah jadi malu, tauk!”
Lalu aku beralih ke Nia dan merangkul lengannya. “Pulang, yuk!”
Nia tampak tersenyum dan mengikuti ajakanku.
“Kalo gitu Rio sama aku, ya?” ujar Sandra. “Kamu mau antar aku pulang, `kan? Rio sayang?”
Kompak aku dan Nia berpaling. Entah dengan Nia, tapi aku memasang mata yang tajam menusuk. Aku lihat Ketua Murid kelasku itu merapatkan bahunya ke bahu Rio, meski hanya sebentar.
“Aaa! Tidak! Panas! Panas!” Sandra pura-pura limbung, melangkah mundur sambil menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. “Tatapannya menembus dan membakar rohku!”
“Kalian pasangan komedian yang serasi, ya?” komentar Rio, merujuk pada tingkah aku dan Sandra. Lalu dia mulai melangkah mendahului kami. Aku, Nia dan Sandra mengikutinya dari belakang.
“Bagaimanapun kami klub teater,” jawabku. “Tapi komedi adalah genre yang memang sulit. Yakin deh kalau menyengaja di panggung, tekanannya lebih besar di banding tampil biasa.”
“Tapi bisa didesain, `kan? Maksudku, kalian pasangan cantik yang saling melempar celetukan spontan di panggung sepertinya bakal memancing tawa,” sambung Rio.
Sejenak aku berkedip cepat. Eh, apa aku gak salah dengar? Pasangan cantik?Dia bilang aku cantik?
“Oh, jadi itu, ya? Umm, standar cantik kamu, itu, seperti Anna dan Sandra?” sela Nia.
Aku melirik Nia dan melihat ada senyum tipis di bibirnya—senyum dengan niat jahil. Pada saat yang sama aku melihat Rio melirik ke belakang.
“Apa maskudmu? Maksudmu, Anna sama Sandra jelek, gitu?” ujar Rio datar.
“Bu-bukan itu maksudku!” seru Nia. Dia mendadak gugup.
“Sudahlah, Nia,” kataku sambil menepuk pundak Nia. “Kamu terjebak narasinya Rio, jadi sebaiknya menanggapinya dengan diam. Selain itu … biarlah kami—aku dan Sandra terbuai dengan rayuan Rio.”
“Dih! Shut up!” desis Rio sambil memalingkan wajah dan melangkah sedikit lebih cepat.
“Malu, tuh!” bisikku pada Nia.
Nia terkekeh ringan. Senang telah berhasil menjahili Rio meski dibantu olehku.
“Tapi kayaknya seru juga,” ujar Sandra tiba-tiba.