Tidak banyak yang bisa aku ceritakan saat aku dan Mama mengantar Sandra dan Nia pulang. Dalam perjalanan hanya mengulas rekaman storytelling di ponsel Nia. Itupun tidak banyak yang dibahas kecuali pertanyaan Nia soal bagaimana membangun percaya diri untuk tampil di depan kumpulan orang banyak. Dan aku hanya menjawab, “Masa bodo!”
“Eh?” Nia sempat terperangah bingung.
Aku hendak mengklarifikasi tapi terhalang tawa Mama yang tiba-tiba.
“Benar kata Anna, Nia. Complete ignorance. Sikap tidak peduli terhadap pendapat orang lain tentang tampilan kita di hadapan mereka. Ya itu tadi kata Anna; sikap masa bodo,” jelas Mama setelah tawanya reda.
“Ya gitu deh,” ujarku. “Mungkin bukan jawaban yang tepat, ya. Tapi sejauh ini, jika aku disebut percaya diri, sebenarnya bisa jadi aku cuma tidak peduli sama akibat yang aku lakukan. Hehe."
“Tapi gak berarti tanpa persiapan, `kan?” timpal Sandra.
“Tentu saja! Tapi aku pikir persiapan untuk tampil sama percaya diri saat tampil itu konteks yang berbeda, ya,” tanggapku. “Maksudku, ketika persiapan dan latihan, itu buat—apa ya istilahnya? Mematangkan materi, mungkin ya? Materi yang hendak ditampilkan. Sementara percaya diri saat tampil, itu sudah tidak ada pertimbangan lain selain fokus pada materi yang sudah matang.”
“Tapi … umm, kamu storytelling tadi enggak ada persiapan, `kan?” tanya Nia.
Sejenak aku termenung. “Mungkin karena sudah terbiasa, ya? Beberapa kali tampil di panggung sepertinya bisa disebut persiapan juga.”
“Yup! Semakin sering tampil semakin kebas urat malu!” celoteh Sandra sambil mengepalkan sebelah tangan penuh semangat.
Mama tertawa, sementara aku berusaha menjewer telinga Sandra meski Sandra bisa berkelit karena gerakku terhalang Nia yang memang duduk di antara aku dan Sandra. Nia terkekeh melihat tingkahku dan Sandra, meski dia tengah terhimpit. Tapi kemudian Nia mengatakan sesuatu yang mengejutkanku. Sebuah kutipan.
"Dalam hal konstruksi Immortal Fame, pertama-tama Anda memerlukan muka tembok kosmik."
Waktu seolah nyaris berhenti. Aku menatap Nia, begitu pula dengan Sandra. Entah dengan Mama, tapi pastinya tetap memperhatikan jalan meski ikut menyimak perkataan Nia.
"Umm, itu kata-kata Umberto Eco di buku Tamasya dalam Hiperealitas," imbuh Nia.
"Wow! Bacaan berat!" komentar Sandra.
Aku sendiri malah termenung, dan kemudian bergumam, "Hmmm, muka tembok kosmik,ya?"
Tapi ucapanku malah membuat Mama tertawa dan menambahkan, "Ada pepatah Timur Tengah, bila ingin terkenal, kencingi sumur zamzam. Jelas bukan metode yang baik. Begitu pula pasang muka tembok."
Sempat ada niat ikut tertawa, tapi perasaan untuk kontemplasi terasa lebih berat. Perasaanku itu kemudian terwakili oleh Nia.
"Jadi sepertinya ada batasan, ya? Antara percaya diri dan tidak punya malu?"
"Persis! Tapi, kalau ditanya di mana batasannya, Tante juga tidak tahu," jawab Mama.
Lalu kami terdiam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Sandra lebih dulu kami antar karena memang jarak rumahnya lebih dekat meski agak berlainan arah dengan rumah Nia. Lalu, ketika sampai di rumah Nia, azan Magrib tengah berkumandang. Ketika Nia turun dari mobil, kami disambut ibunya Nia di pagar rumahnya. Aku dan Mama sempat memperkenalkan diri, bahkan sempat ditawari ibunya Nia untuk mampir, tapi kami menolaknya dengan alasan sudah ada yang menunggu kami di rumah.
Ketika melihat ibunya Nia, seketika aku teringat jawaban Nia saat ditanya Kak Tari soal pacaran, “Aku dilarang pacaran.” Sepertinya jawaban itu selaras dengan sosok beliau yang berkerudung, bergamis dan bercadar. Tapi secara keseluruhan, beliau orang yang ramah dan jelas sayang pada Nia. Dari yang aku saksikan saat itu, aku berasumsi Nia adalah anak satu-satunya—meski memang kemudian aku bisa memastikan itu, tapi aku juga perlu menyebutkan kalau Nia bukan anak yang kesepian. Dari tampilan rumahnya yang kira-kira dua kali lebih besar dari rumahku, dan terang lampu di balik jendela-jendelanya yang terkesan semarak, cukup untuk menunjukkan kalau Nia tinggal bersama keluarga yang cukup besar.
Setelah pamit, aku dan Mama langsung pulang. Dan pastinya ada percakapan di tengah perjalanan. Semacam ulasan Mama tentang interaksiku dengan teman-temanku, hanya saja Mama awali dengan asumsi yang mengagetkan!
“Jadi?” tanya Mama setelah lepas dari gapura jalan kompleks pemukiman rumah Nia.