Satu hal yang aku sesali kemarin adalah aku tidak berhasil mengetahui rumah Rio.
“Eh, kalau saya tidak usah! Rumah saya cuma lima belas menit dari sini. Saya permisi dulu, Bu. Sampai besok semuanya!”
Itu yang Rio katakan sebagai alasan menolak ajakan aku dan Mama mengantarnya pulang. Padahal prosesor imajinasiku cukup cepat melukiskan citra khayal yang membiarkan Sandra duduk di samping Mama, sementara aku diapit Rio dan Nia. Sungguh disayangkan tidak berhasil tercetak di ranah nyata. Tapi karenanya juga, aku jadi sedikit terobsesi untuk tahu di mana rumah Rio.
Semalam, sempat aku buka aplikasi peta online dan mengukur radius 15 menit jalan kaki—atau lari, ya?—dari titik sekolah. Sekadar estimasi kasar di mana rumah Rio berada. Jika ditambah info soal dia tinggal dengan kakeknya dan kakeknya punya warung. Aku bisa memperkirakan kondisi lingkungannya dari peta online itu. Tapi tetap hanya perkiraan. Untuk memastikannya, tumbuh niat untuk membuntutinya.
Membuntuti bukan kata yang tepat, ya. Karena jika membuntuti berarti harus ada Rio depanku—namanya juga buntut, ya, `kan? Tapi, yang aku lakukan lebih seperti mengumpulkan info sampai bisa aku perkirakan potensi lokasi rumahnya; info yang bisa mengerucutkan data menuju kepastian. Dan pagi ini aku berada di seberang sekolah. Datang lebih awal dan sekolah tampak sepi.
Gedung sekolah kami menghadap ke arah Barat. Jalan raya dua arah melintang di depan sekolah yang kedua ujungnya berakhir pada perempatan. Kamu sudah tahu kalau saat pulang, aku ambil arah kanan, bukan? Sementara Rio pulang ke arah kiri dari sekolah. Maka, ketika aku mengintai pagi ini, aku menyeberang jalan supaya tidak berpapasan dengan Rio saat dia mendekati sekolah. Itu cukup masuk akal, bukan?
Tidak juga. Sebenarnya yang paling masuk akal adalah aku hanpiri Rio dan langsung bertanya, "Rumah kamu di mana?" Ya, `kan?
Lebih efisien. Tanpa buang-buang waktu dan tenaga. Tapi ..., kalau itu membuka kemungkinan Rio merasa cringe dan menjauhi aku, aku tidak bisa menerimanya.
Belajar dari kejadian kemarin, ketika aku bersikap sedikit agresif dengan membangun gosip antara aku dan Rio, lalu berakibat Rio dirundung seniornya di klub basket, sepertinya aku harus perlahan, jangan terburu-buru. Jika aku salah langkah, Rio bisa menjauhiku demi keselamatan.
Ya! Utamakan keselamatan!
Tapi dengan menguntit Rio, tidak berarti tanpa resiko, ya! Untuk bermain aman, aku pinjam jaket punya Papa, menggelung rambutku dan menutupinya dengan topi—juga aku pinjam punya Papa—tidak lupa kacamata hitam yang aku pinjam dari koleksi Mama. Aku tuju sudut persimpangan di sisi Selatan gedung sekolah dan menunggu. Sambil memegang ponsel, aku menyamar seperti seseorang yang sedang menunggu ojek online. Hanya satu hal yang aku lupa; semakin lama pagi menggeliat, semakin ramai suasana perempatan jalan itu. Pengintaianku semakin terasa tidak optimal.
Jangan-jangan Rio sudah lolos dari pengintaianku?
Aku lihat waktu di layar ponsel dan memberi tahu aku masih punya waktu setengah jam lagi sebelum bel masuk. Untuk amannya aku akan akhiri pengintaian ini sepuluh menit lagi. Jika nanti aku temukan Rio ternyata sudah berada di sekolah, berarti besok aku tinggal mengintai di sudut perempatan yang lain. Setidaknya itu kesimpulan sederhana yang bisa aku dapatkan pagi ini.
Namun, objektif misi pengintaian ini mendadak teralihkan saat aku lihat sebuah sepeda motor menikung di depanku, berbelok arah memasuki jalan menuju sekolah. Sepeda motor yang mencolok—sebuah superbike, tapi bukan motor itu yang menarik perhatianku, juga bukan pengendaranya, tapi sosok yang menumpang di belakang pengendara itu. Sosok yang aku kenal karena dia tidak memakai helm.
Eh? Kak Tari?
Ya, yang aku lihat itu Kak Tari. Duduk di belakang superbike itu sambil memeluk erat pengendaranya yang seketika aku bisa sangka seorang cowok. Pengendara itu memakai helm, jaket dan celana jins, sementara Kak Tari memakai seragam. Melihat itu, aku beralih tempat merapat ke tiang lampu pengatur lalu lintas, sambil terus mengamati tas punggung Kak Tari yang melambat dan kemudian berhenti persis di seberang gedung sekolah.
Apa itu pacarnya? bisik benakku saat melihat Kak Tari turun dari superbike itu. Dia berbicara sebentar dengan pengendaranya dan aku tidak bisa melepas kesan kalau Kak Tari ingin berlama-lama berbicara dengan cowok itu.
Ya. Pasti pacarnya.
“Kamu pasti tahu, menguntit orang itu enggak sopan `kan?”
Aku terperanjat dan seketika balik badan melihat siapa yang berkata seperti itu!
Ri-Rio!
Dia berdiri tegak sambil memegang salah satu tali tas ransel yang bertumpu ke bahu kanannya. Dia menatapku sambil mengerenyit heran.
Aku tegakan badan menghadapinya, meski aku palingkan wajah, tidak berani menatapnya.
“Si-siapa kamu? Apa-apaan sok kenal gitu?!” ujarku ketus. “Aku sedang nunggu driver-ku!”
“Ya, ya, baiklah,” ucapnya datar dan cuek sambil melangkah melewatiku. “Kamu terlalu cantik buat seorang penguntit. Kamu perlu tahu itu.”
Ca-cantik?!
Aku menyerah. Aku buka topiku, juga kacamataku. Membongkar penyamaranku.
“Penyamaranku percuma, ya?” kataku lemas.
Rio hentikan langkahnya dan berpaling ke arahku. “Aura kehadiranmu sangat jelas! Kamu seorang heroine, Ann! Bukan NPC.”
Non-Player Character, atau figuran dalam bahasa teater.
“Yah, kamu benar. Aku seorang primadona. Itu tidak bisa disangkal,” ujarku sambil menyibak dan mengibaskan rambutku, bertingkah layaknya seorang ratu.
“Kalau kamu sadar itu, berarti kamu sayang banget sama kakak kelas kamu itu, ya? Sampai nguntit dia? Khawatir soal pacarnya?” kata Rio sambil berpaling ke arah seberang sekolah, ke tempat yang telah ditinggalkan superbike yang mengantar Kak Tari. Kak Tari sendiri sudah menyeberang jalan dan memasuki gerbang sekolah.
"Ya, gitu deh."
Seketika aku mendapatkan rasa lega kalau Rio ternyata tidak sadar dengan niatku yang sebenarnya.
“Sepertinya seorang mahasiswa,” ucap Rio pelan, seperti untuk dirinya sendiri, namun dia kemudian berpaling kepadaku. “Kamu yakin dia itu pacar Kak Tari?”